Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil, sebagian masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan berprofesi sebagai nelayan. Sebagai nelayan tentu masyarakat pesisir sangat bergantung pada laut sebagai tempat mencari ikan.
Dalam 10 tahun terakhir ancaman terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT mengalami krisis ekologis. Â Saat ini kawasan hutan mangrove di NTT menjadi terancam akibat berbagai aktivitas pembangunan di wilayah pesisir.
Hutan mangrove adalah salah satu jenis hutan yang banyak ditemukan pada  kawasan muara  dengan struktur tanah rawa dan/atau padat. Mangrove menjadi salah satu solusi yang sangat penting untuk mengatasi berbagai jenis masalah lingkungan terutama untuk mengatasi masalah habitat hewan laut.
Saat ini dampak perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat terasa khususnya bagi nelayan yang hidupnya bergantung pada laut. Ironisnya kawsan mangrove seringkali diabaikan atas nama pembangunan industry dan pariwisata. Seperti halnya di kabupaten Malaka adanya PT. Inti Daya Kencana (IDK) yang membuka lahan mangrove untuk kepentingan tambak garam dan ikan serta masifnya industry pariwisata.
Pengabaian atas daya dukung lingkungan ini menjadi salah satu foktor menyempitnya kawasan mangrove dan digantikan dengan berbagai pembangunan di wilayah pesisir seperti tambak yang tidak berkelanjuatnan, pengembangan industry, penebangan liar mamupun pembangunan pemukiman (tata ruang) yang mengarah pada degredasi dan konservasi mangrove besar-besaran. Ini merupakan salah satu persoalan serius yang sedang dihadapi di tengah krisis iklim.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 27 Tahun  2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimana pengelolaanya dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prisip kenegaraan. Namun, tidak semudah mengimplementasikan instrument ini dikarenakan orientasi pemangku kebijakan justeru lebih memilih pada sektor industry yang rakus lahan dan merusak ekosistem pesisir.
Pelestarian hutan mangrove menjadi salah satu upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim yang efektif terutama bagi masyarakat di wilayah pesisir karena hutan mangrove dapat menyerap emisi karbon yang cukup tinggi. Oleh sebab itu diperlukan strategi yang melibatkan masyarakat dalam perlindungan mangrove untuk mitigasi dan adaptasi krisis iklim.
Pertama, ekowisata mangrove berbasis masyarakat atau komuitas bertujuan agar mangrove dapat memberikan manfaat secara ekonomi dan kelestariannya terjaga. Pelibatan masyarakat pesisir dengan pendekatan eduwisata dan ekowisata merupakan sebuah langkah pembangunan yang berkelanjutan. Â
Kedua, melibatkan masyarakat dalam rehabilitasi mangrove, hal ini sebagai upaya menggembalikan fungsi hutan mangrove yang terdegredasi oleh berbagai kegiatan manusia serta kebijakan-kebijakan pembangunan di wilayah pesisir.
Ketiga, merumuskan kebiajakan adaptasi, mitigasi perubahan iklim dengan melibatkan masyarakat bpesisir dan membangun kembali nilai-nilai kearifan lokal dalam tata kelola sumber daya alam di wilayah pesisir. Ini bertujuan untuk mendekatkan hubungan manusia dengan alamnya tetap seimbang. Karena secara kultular masyarakat pesisir memiliki ikatan dengan alam terkait pemanfaatan sumber daya alam berbasis lokal.
Keempat, Â perlunya pemerintah melakukan evaluasi dan monitoring di wilayah pesisir. Penegakan hukum khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dewasa ini tidak berjalan dengan baik. Kasus di pulau Komodo merupakan salah satu yang bisa kita jadikan tolok ukur betapa kuatnya kepentingan bisnis dan mengabaikan masyarakat lokal dan ruang hidupnya.