Mohon tunggu...
deddy Febrianto Holo
deddy Febrianto Holo Mohon Tunggu... Relawan - Semangat baru

Rasa memiliki adalah perlindungan alam yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Dampak Perubahan Iklim, Pulau-Pulau Kecil di NTT Terancam

15 Agustus 2022   19:32 Diperbarui: 17 Agustus 2022   14:07 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Eksistensi Hutan Mangrove dan  Wilayah Pesisir di NTT ?

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil, sebagian masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan berprofesi sebagai nelayan. Sebagai nelayan tentu masyarakat pesisir sangat bergantung pada laut sebagai tempat mencari ikan. 

Dalam 10 tahun terakhir ancaman terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT mengalami krisis ekologis. Saat ini kawasan hutan mangrove di NTT menjadi terancam akibat berbagai aktivitas pembangunan di wilayah pesisir.

Mencairnya es di kutub akibat pemanasan global menjadi ancaman serius bagi pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur (NTT), naiknya permukaan air laut dan menurunnya tanah dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil.

LIPI menyebutkan bahwa naiknya permukaan air laut akan menggenangi sebagian pulau-pulau di Indonesia dan dampaknya masyarakat akan kehilangan tempat. Bukan saja di Jakarta, Bali, NTT pun rentan kehilangan atau tenggelammnya pulau-pulau kecil jika kebijakan pembangunan masih terus mengabaikan daya dukung lingkungan hidup.

Hutan mangrove adalah salah satu jenis hutan yang banyak ditemukan pada  kawasan muara  dengan struktur tanah rawa dan/atau padat. Mangrove menjadi salah satu solusi yang sangat penting untuk mengatasi berbagai jenis masalah lingkungan terutama untuk mengatasi masalah habitat hewan laut.

Selain itu, tanaman bakau juga bermanfaat untuk melindungi pantai dari erosi. Tanaman bakau yang tumbuh ditepi pantai dapat melindungi daratan dari hempasan ombak secara langsung sehingga ombak tidak langsung menerjang daratan yang akan menyebabkan erosi dan longsor, karena terlindung oleh tanaman bakau.

Oleh karenanya, hutan mangrove menjadi sumber yang sangat jelas untuk menjaga ekosistem perairan antara laut, pantai dan darat. Selain itu, manfaat hutan mangrove juga akan membantu manusia dalam mendapatkan iklim dan cuaca yang paling nyaman untuk mencegah bencana alam seperti badai siklon tropis yang sering dan berpotensi melanda NTT.

Saat ini dampak perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat terasa khususnya bagi nelayan yang hidupnya bergantung pada laut. Ironisnya kawsan mangrove seringkali diabaikan atas nama pembangunan industry dan pariwisata. Seperti halnya di kabupaten Malaka adanya PT. Inti Daya Kencana (IDK) yang membuka lahan mangrove untuk kepentingan tambak garam dan ikan serta masifnya industry pariwisata.

Pengabaian atas daya dukung lingkungan ini menjadi salah satu foktor menyempitnya kawasan mangrove dan digantikan dengan berbagai pembangunan di wilayah pesisir seperti tambak yang tidak berkelanjuatnan, pengembangan industry, penebangan liar mamupun pembangunan pemukiman (tata ruang) yang mengarah pada degredasi dan konservasi mangrove besar-besaran. Ini merupakan salah satu persoalan serius yang sedang dihadapi di tengah krisis iklim.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 27 Tahun  2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimana pengelolaanya dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prisip kenegaraan. 

Namun, tidak semudah mengimplementasikan instrument ini dikarenakan orientasi pemangku kebijakan justeru lebih memilih pada sektor industry yang rakus lahan dan merusak ekosistem pesisir.

Pelestarian hutan mangrove menjadi salah satu upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim yang efektif terutama bagi masyarakat di wilayah pesisir karena hutan mangrove dapat menyerap emisi karbon yang cukup tinggi. Oleh sebab itu diperlukan strategi yang melibatkan masyarakat dalam perlindungan mangrove untuk mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

Pertama, ekowisata mangrove berbasis masyarakat atau komuitas bertujuan agar mangrove dapat memberikan manfaat secara ekonomi dan kelestariannya terjaga. Pelibatan masyarakat pesisir dengan pendekatan eduwisata dan ekowisata merupakan sebuah langkah pembangunan yang berkelanjutan.  

Kedua, melibatkan masyarakat dalam rehabilitasi mangrove, hal ini sebagai upaya menggembalikan fungsi hutan mangrove yang terdegredasi oleh berbagai kegiatan manusia serta kebijakan-kebijakan pembangunan di wilayah pesisir.

Ketiga, merumuskan kebiajakan adaptasi, mitigasi perubahan iklim dengan melibatkan masyarakat bpesisir dan membangun kembali nilai-nilai kearifan lokal dalam tata kelola sumber daya alam di wilayah pesisir. Ini bertujuan untuk mendekatkan hubungan manusia dengan alamnya tetap seimbang. Karena secara kultular masyarakat pesisir memiliki ikatan dengan alam terkait pemanfaatan sumber daya alam berbasis lokal.

Keempat,  perlunya pemerintah melakukan evaluasi dan monitoring di wilayah pesisir. Penegakan hukum khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dewasa ini tidak berjalan dengan baik. Kasus di pulau Komodo merupakan salah satu yang bisa kita jadikan tolok ukur betapa kuatnya kepentingan bisnis dan mengabaikan masyarakat lokal dan ruang hidupnya.

Oleh karena itu, WALHI NTT sebagai oraganisasi yang fokus pada perlindungan lingkungan hidup memberikan atensi yang serius kepada para pemangku kebijakan agar lebih berhati-hati dalam melakukan perencanaan pembangunan di wilayah pesisir. 

WALHI NTT menilai bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup perlu dijalankan dengan baik oleh pemerintah karena dalam regulasi tersebut menegaskan adanya jaminan kepastian hukum memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan keseluruhan ekosistem.

Selain itu, WALHI NTT meminta pihak pemerintah agar melakukan moratorium industry perusak mangrove di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT. Ini berdasarkan temuan lapangan dimana kebijakan pemerintah di wilayah pesisir tidak direncanakan dengan baik serta tidak memperhatikan daya dukung dan tampung lingkungan. Ada Mal Adapatasi yang terjadi saat ini.


Deddy Febrianto Holo
Divisi Perubahan Iklum dan Kebencanaan WALHI NTT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun