Dalam kisa para tetua leluhur di pulau Sumba, cendana dinarasikan sebagai pohon atau kayu yang "keramat". Para leluhur melakukan perlindungan cendana dengan mengisahkan cendana sebagai pohon yang banyak "setan" sehingga tidak boleh didekati, ditebang, dirusak, bahkan akan mendapat kutukan seperti penyakit  jika pohon cendana dirusak. Hal ini semata-mata sebagai upaya masyarakat lokal melindungi cendana dari eksploitasi dan kepunahan.
Bila menjadikan cendana sebagai sebuah subjek, maka cendana akan menjadi sesuatu yang menyedihkan dan meninggalkan kisah trauma, memiliki potensi, kelebihan, namun karena ketamakannya ia menjadi sesuatu yang dibenci. Dari cerita ini kita tentu berharap masa-masa traumatik masyarakat lokal dalam melestarikan cendana perlu dihilangkan lewat berbagai produk kebijakan yang mendorong pelestarian dan pengelolaan cendana di NTT tanpa harus mengorbankan masyarakat. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat di NTT sadar akan pentingnya cendana sebagai identitas dan kebanggan daerah. Â
Cendana telah menjadi bukti dan sejarah peradaban kehidupan pembangunan di NTT, seluruh gerak dan arah pembangunan sejak zaman cina kuno, mesir kuno, zaman kolonial hingga zaman sekarang cendana masih tetap eksis sebagai komoditi unggul yang selalu diminati dunai. Ironisnya eksploitasi cendana untuk kebutuhan ekonomi justru berbanding terbalik dengan upaya pelestariannya. Cendana menjadi primadona, harapan di tengah ancaman kepunahan.
Dari sejarah perkembangan cendana di NTT tentu kita sebagai generasi muda berharap adanya kesadaran bersama dan dukungan pemerintah untuk melakukan penyelamatan cendana dari ancaman kepunahan dengan cara menanam pohon cendana. Pemerintah perlu mendorong seluruh elemen masyarakat untuk melakukan pelestarian cendana sebagai bagian dari upaya pemulihan lingkungan, identitas  dan kesejahteraan ekonomi rakyat.
