Hutan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia dan ekosistem lainnya, berdasarkan data KLHK tahun 2022 Â periode 1 hutan primer justru berkurang, berkuragnya hutan primer di Indonesia karena adanya prubahan tata ruang atau perbaikan data-data perizinan atau data kepemilikan. KLHK menetapkan luas peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB) untuk kawasan hutan alam primer dan lahan gambut untuk tahun 2022 periode 1 menjadi 66.512.000 hektare, jika disbanding PIBPIB tahun 2021 periode II, jumlah luasan itu lebih tinggi sebanyak 372.417 ha. (CNNindonesia).
Hari ini perubahan iklim menjadi topik yang dibahas oleh seluruh pemimpin dunia dalam rangka menakan laju pemanansan global akibat emisi karbon yang selama ini tidak terkendali. Laporan terbaru IPCC 2022 memberikan gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Dampak perubahan iklim saat ini sudah sangat dirasakan oleh kita semua khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indoneisia.
Adaptasi merupakan langkah penting
Pemanasan global sudh mencapai 1,1 derajat celcius akibatnya masyarakat dan ekosistem yang sangat rentan sudah mencapai batas adaptasi. Penjelasan sains sangat jelas bahwa perubahan iklim membahayakan kesejahteraan manusia dan planet ini. Keterlambatan dalam mengambil tindakan dapat menghasilkan dampak perubahan iklim yang parah dan akan mengubah dunia sepenuhnya.
Setidanya 170 negara sudah memiliki kebijakan iklim yang mencakup adaptasi, tetapi masih banyak yang belum bergerak ke tahap implementasi dari tahap perencanaan. IPCC menumukan bahwa sebagian besar upaya yang ada saat ini masih bersifat incremental, reaktif dan berskala kecil. Selain itu, sebagaian besar upaya ini masih berfokus pada dampak risiko jangka pendek.
Ada beberapa pendekatan adaptasi yang perlu didorong secara bersama untuk membendung lahu perubahan iklim saat ini diantaranya adaptasi berbasis ekosistem. Dengan melindungi kelestarian hutan serta pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan dapat mengurangi risiko iklim yang sudah dihadapi banyak orang termasuk kekeringan, banjir, tanah longsor, badai, kebakaran hutan.
Perubahan iklim hari ini bukan saja dirasakan oleh orang-orang kota "modern" namun sudah sampai ke pedesaan khususnya mereka yang berhadapan langsung dengan sumber-sumber penghidupan seperti pertanian, perikanan dan bahkan masyarakat adat mulai merasakan dampak perubahan iklim yang tidak biasanya. Hasil data BPBN mengemukakan setidaknya kurang lebih 17.000 bencana alam terjadi di wilayah Indonesia akibat perubahan iklim. Hal ini menegaskan bahwa dampak perubahan iklim sudah menyentuh lapisan paling dasar manusia yaitu terkait dengan kehidupan dan keberlanjutan.
Hutan menjadi salah satu unsur yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Namun saat ini justru laporan deforestasi hutan di Indonesia justru menjadi persoalan besar dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Komitmen pemerintah pun dipertanyakan oleh publik sejahmana sikap dan tindakan pengambil kebijakan untuk patuh dan menjalankan kesepakatan iklim. Pembanguna ekonomi yang tidak mengedepankan pada keadilan iklim menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis iklim.
Melansir IDN Times mayoritas anak muda, baik kelompok milenial dan generasi Z menilai pembabatan hutan sebagai biang kerok perubahan iklim di Indonesia. Angkanya mencapai 1,228 persen jawaban. Hal ini terungkap dalam survey yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada periode September 2021. Selain pembabatan hutan hingga gundul, penyebab lain yang dinilai kaum muda adalah sektor industry ekonomi dan penggunaan sampah plastik sekali pakai.
Pulau kecil dan pesisir sangat rentan terendam saat terjadi peningkatan air laut. Banyak kota besar di Indonesia yang berada pada wilayah pesisir. Hampir 60 persen populasi penduduk tinggal di pesisir. dampak pertama yang dirasakan adalah masyarakat pesisir akan kehilangan tempat tinggal dan matapencahariannya.
Dalam catatan sejarah pembangunan, kita mengalami deforestasi "perilaku" dalam menjaga keseimbangan ekositem alam. Pambangun cenderung mengabaikan lingkungan sebagai penyagga utama keselamat manusia. Salah satu yang menarik perhatian semua pihak adalah ketika penggunaan energi fosil seperti batu bara untuk pembanguna Pembangki Listrik Tenaga Uap (PLTU) berjalan secara massif. Kasus lain yang ditumukan di pulau-pulau kecil adalah kebijakan indusrti tambang ekstraktif yang menghancurkan lingkungan seperti di Nusa Tenggara Timur.
Dampak perubahan iklim sekarang ini sudah dirasakan oleh masyarakat di NTT khususnya di wilaya pulau-pulau kecil dimana terjadi banjir bandang, musim hujan yang tidak menentu, kekeringan, tanah longsor, angin putting beliung serta lahan pertanian masyarakat tidak bisa dipanen akibat terendam banjir, kasus ini terjadi di pulau Sumba, Timor dan Flores.
Untuk mengatasi persoalan iklim yang ditimbulkan dari perilaku manusia dan kebijakan pembangunan kita perlu mempersiapkan diri dengan cara penanganan pada upaya untuk mengurangi sumber penyebab perubahan iklim dan mengurangi produksi karbon dengan cara menyusun perencanaan pembangunan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Adaptasi perubahan iklim merupakan startegi antisipasi dampak perubahan iklim. Selain itu perlu adanya didorong pengetahuan lokal masyarakat dalam upaya menekan laju perubahan iklim. Â
Deddy Febrianto Holo
Koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI NTT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H