Kampung Cipayung, inilah nama kampung tempat saya tinggal dan besar. Dari kampung inilah saya tumbuh besar dan belajar mengenal kerukunan umat beragama. Tinggal di lingkungan dengan beragam latar belakang suku, agama dan Ras membuat saya menjadi seorang yang memiliki toleransi terhadap perbedaan yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari saya di Kampung Cipayung.Waktu kecil dulu saya ingat kita sering bermain bareng dengan teman-teman yang memiliki latar belakang beda. Semua permainan kampung seperti benteng, petak umpat, sampai main bola di tanah lapang semuanya kita lakukan bersama-sama.
Dahulu kalau hari Minggu tiba, kita biasa ngumpul untuk main sekitaran pukul 09.30 pagi karena dari jam 6 sampai jam 9 kita terlebih dahulu menjalankan ibadah masing-masing. Teman-teman non muslim pergi ke gereja untuk ibadah, sementara saya dan teman-teman yang muslim ikut pengajian di rumah pak ustad.
Biasanya kalo lagi musim rambutan, kami suka nyolong rambutan di kebon deket rumah. Biasanya sih kita suka kerjasama biar hasil rambutan yang kita dapat banyak. Misalnya teman saya ada yang nyari batu buat saya lempar ke buah rambutan yang merah ranum di pohon. Sementara teman saya yang lain bertugas mengumpulkan rambutan yang jatuh akibat lemparan saya yang maha dahsyat itu (itu kata teman-teman saya dulu yang bilang lemparan saya dahsyat). Nah, kalo udah banyak, barulah kita kabur ke sawah untuk menikmati rambutan hasil “jarahan” kita tadi.
Menjelang sore, selepas ashar, biasanya kita berkumpul di lapangan buat main bola bareng. Setelah gambreng, kita membagi tim menjadi dua kesebelasan, meskipun kadang-kadang satu tim engga nyampe sebelas orang tapi pertandingan harus tetap berjalan. Biasanya kalo udah main bola, kita seperti musuh dan lupa kalo itu teman kita sehari-hari. Kekalahan menjadi ‘aib’ yang bakal diceritakan selama berhari-hari. Namun biarpun lagi seru-serunya bermain bola, kita semua kompak pertandingan selesai pas adzan magrib. Teman-teman yang non muslim biasanya mengerti kalo saya dan teman-teman lainnya harus menjalankan ibadah shalat maghrib. Kami semua biasanya bubar jalan meninggalkan lapangan begitu adzan tiba.
Begitupun saat hari besar keagamaan tiba, kami pun saling mengucapkan selamat saat perayaan hari besar agama seperti saat idul fitri dan natal. Saat idul fitri tiba misalnya, teman-teman yang non muslim biasanya datang ke rumah bersama keluarganya untuk mengucapkan selamat idul fitri kepada kami. Begitupun saat hari natal tiba, temen-temen muslim biasanya mengucapkan selamat natal kepada temen-temen yang lagi merayakan natal. Bahkan, biasanya kita sering kebagian kue natal yang suka dibagikan sama temen-temen yang merayakan natal.
Hari-hari berganti kita semua beranjak dewasa dan sehari-hari udah mulai jarang ketemu. Namun pertemanan kita yang terjalin dari kecil tetap terjalin erat sampai hari ini. Kita semua tumbuh berkembang dalam kerukunan dan toleransi yang kuat satu sama lainnya. Tidak pernah ada permusuhan diantara kita hanya karena kita berbeda suku dan agama. Oia di dekat lingkungan rumah saya, ada 2 gereja yang biasa digunakan teman-teman saya untuk beribadah. Saya dan teman-teman yang muslim pun menghargai saat mereka ibadah dan tidak pernah mengusik kekhusyukan mereka ibadah. Hal yang sama pun terjadi ketika kami menggelar pengajian di rumah, teman-teman kami yang non muslim juga tidak mengganggu kekhusyukan kami ibadah.
Hidup bertahun-tahun dengan teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda membuat saya menghormati perbedaan yang ada didalam lingkungan kehidupan saya. Bahwa kerukunan antar umat beragama itu indah memang benar adanya, paling tidak cerita di kampung tempat saya tinggal ini jadi salah satu wujudnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H