Mohon tunggu...
Tauhid Aminullloh
Tauhid Aminullloh Mohon Tunggu... -

masih belajar berwirausaha di future-works.net. Punya ketertarikan di obrolan tentang pendidikan dan branding. Tersedia di @popobumitantra

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Polisi Tukang Palak & Tugas Kapolda Baru DIY

30 Maret 2015   16:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua minggu lalu, Selasa 17 Maret, Kepolisian Daerah (Polda) DIY mendapat komandan baru. Kebetulan hari itu saya juga berniat menyambangi Polda DIY untuk melaporkan perilaku sejumlah anggotanya. Semoga ini bisa dianggap kado yang baik buat kapolda baru, setidaknya bisa bantu beliau tak perlu waktu lama untuk nemu masalah di tanggungjawab anyarnya.

[caption id="attachment_375680" align="aligncenter" width="300" caption="Contoh "][/caption]

Ini adalah kedua kalinya saya membuat laporan perilaku buruk anggota Polda DIY. Kebetulan 2 terlapor ini berasal dari polisi lalu lintas (polantas).

Laporan yang pertama saya lakukan awal bulan September 2014. Saat itu saya kembali bertemu dengan sepasukan polisi yang bikin kegiatan operasi lalu lintas di samping makam keluarga UGM, Sawitsari, Jalan Lingkar Utara. Saya tahu pemimpin pasukan ini, punya jabatan yang namanya kanit (kepala unit) lantas di Polres Sleman. Beberapa bulan sebelumnya pernah saya mergoki dia saat melakukan kegiatan serupa.

Bapak Kanit dan 20-an anak buahnya ini tak hanya menyediakan surat tilang resmi yang sewajarnya dia kenakan ke pelanggar lalu lintas. Mereka juga membekali diri dengan surat tilang bikinan sendiri.

Ini adalah modus klasik polantas cari penghasilan sampingan. Pertama kali saya lihat formulir tilang terbitan indie label ini di tahun 2004. Waktu itu saya naik motor dengan SIM C yang sudah kadaluarsa. Saya dikasih 3 pilihan cara bayar denda. Saya pilih yang ketiga; titip uang denda ke Pak Polisi. Ini tentu sangat praktis buat pelanggar, daripada datang ke pengadilan untuk sidang maupun ke loket Bank BRI. Sayangnya pilihan ketiga ini tak ada dalam aturan resmi manapun.

Yang saya sebut sebagai surat tilang tak resmi ini sebenarnya tidak dibikin mirip surat tilang yang resmi. Bentuk dan detilnya bergantung dengan kreativitas masing-masing pembuat. Dengan surat ini, petugas polisi memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang prosedur tilang pun yang malas repot urusan ke sidang atau ke bank yang bisanya hanya BRI ini.

Di Yogya sering sekali saya nemu kegiatan operasi lalu lintas. Seringnya menyasar ke pengguna motor. Setiap pengguna motor digiring dan yang tak membawa kelengkapan yang cukup dikasih 3 pilihan cara bayar.

Operasi lalu lintas ini akan lebih sering terlihat di hari Sabtu. Bahkan di Jalan Parangtritis kegiatan ini bisa dilakukan di 3 atau 4 titik. Ini adalah jalan utama penghubung Kota Yogya menuju Pantai Parangtritis dan sering dilalui para pekerja komuter yang dahulu terkenal dengan sepeda onthelnya. Tiap pagi dan sore ratusan pesepeda beriringan melewati ruas jalan ini, berangkat kerja ke kota Yogya dan pulang rumah ke Bantul. Tapi itu dulu. Sekarang mereka lebih milih berkendara sepeda motor. Entah kenapa banyak yang tak melengkapi diri dengan berkas berkendara yang komplit. Bisa jadi urusan bikin selembar SIM selalu kalah prioritas dengan urusan lain.

Hari Sabtu adalah hari yang paling dinanti para pekerja ini. Ini adalah hari gajian. Hari yang ketika sesampai rumah mereka bisa lebih percaya diri bertemu dengan anak-istrinya. Hari dimana janji-janji bisa tercicil terpenuhi.

Sayangnya di ruas jalan pulang, sering ada buaya yang siap merampok lembaran hasil kerja keras mereka selama seminggu. Buaya yang setiap bulan digaji negara dengan harapan bisa pelindung dan pelayan bagi semua warga. Sayang mereka sama sekali tak pernah melindungi, pun melayani.

Modus surat tilang indie ini bukan hanya terjadi di wilayah Polda DIY. Saya pernah nemu di Magelang, Jepara atau di Cirebon. Dengan berbagai varian turunannya. Salah satunya varian yang digunakan adalah menilang dengan surat tilang asli, tapi bekas. Tentu setelah berhasil meyakinkan pelanggar untuk memilih model bayar denda cara ke-3.

Tak semua polisi bersurat tilang indie ini saya laporkan ke Polda. Lebih banyak yang tidak. Alhamdullilah saya tak seselo itu untuk melaporkan setiap polisi janggal yang saya temui. Kalau semua diladeni, bisa tiap bulan saya ke berurusan ke kantor polda.

Saya hanya melaporkan yang memungkinkan saya laporkan. Pertama perkara jarak. Karena melaporkan ini tak cukup bila cuma di polsek setempat. Saya pun hanya melaporkan polisi yang bertindak intimidatif ke saya. Tak jarang polisi-polisi ini bisa tampak beringas saat melihat ada kamera menyasar kegiatan mereka. Bisa juga mereka mendorong saya menjauhi kerumunan yang sedang antri membayar denda. Yang paling parah adalah hari Minggu tanggal 15 Maret lalu, pertama kali ada polisi yang ngancam menyantet saya.

Di polisi yang saya laporkan pertama, dia memang sama sekali tidak intimidatif. Dia asyik. Kami banyak ngobrol santai saat saya mergoki aktivitasnya. Diapun berjanji tak akan mengulang lagi. Ya sudah, salaman, saya lanjut jalan.

Tapi kemudian saya nemu dia berbuat lagi. Ya sudah, saya lanjut jalan ke Propam (bagian dari polisi yang tugasnya mengawasi perilaku polisi). Hingga akhirnya berujung di sidang etika profesi tanggal 15 November 2014. Saya diundang untuk jadi saksi di seremoni yang tertutup untuk umum ini.

Beberapa hari kemudian saya dapati surat yang mengabarkan bahwa polisi yang saya laporkan tersebut terbukti bersalah dan dikenakan hukuman disiplin.  Cuma hukuman disiplin, entah itu apa yang jelas saya masih bisa sering ketemu dia di jalanan. Di hari-hari kemudian, dia masih tetap asyik saat kami ketemu. Tak jarang kami berpapasan dan saling sapa. Kalau orang lain melihat saat kami bersua, kali mereka bisa nyebut kami akrab. Beberapa kali dia datang ke rumah, sayangnya pas saya tak ada.

Keakraban kami berada di level hubungan personal. Di area keyakinan, saya yakin dia pantasnya ada di balik jeruji penghukuman dan tak lagi layak berseragam polisi. Dia lebih pantas di sana dibanding Nenek Asyani. Polisi urusan kriminal lebih layak menyidik kenalan baru saya ini dari pada perkara akta keluarganya Abraham Samad.

Entahlah, makin ke sini makin berasa polisi gagap mampu membedakan SALAH dan JAHAT. Saya awam tentang hukum, tapi sepantasnya setiap memperkarakan orang perlu dibarengi kemampuan berempati ke (calon) tertuduh, meyakini adanya niat berbuat jahat.

Di Polda DIY, keprihatinan ini bukan hanya ke polisi lalu lintas saja. Kegagapan ini juga mudah terlihat juga di bagian kriminal.

Saat saya masih kecil dahulu pernah ada polisi Yogya bernama Serma Edy Wuryanto yang melarung barang bukti berupa darah korban pembunuhan ke laut. Konon itu cara dia berupaya nemu pelaku pembunuhan Udin, wartawan harian Bernas. Kelakuan Edy Wuryanto pasti melanggar etika profesional polisi, tak ada di kaidah standar teknik investigasi serta pasti ada delik yang bisa relevan dengan perbuatannya. Dan tak ada hukuman apapun buat dia.

Jaman saya kuliah pernah juga ada teman yang kemalingan sepada motor yang ia simpan di kamar kos. Polisi tampak sibuk di lokasi kejadian. Beberapa hari kemudian datang polisi ke kos mencari teman saya lainnya, tetangga sebelah kamar si korban. Kata bapak polisi ini teman saya tadi jadi tertuduh pelaku aksi pencurian, berdasar temuan sidik jari di kamar si korban.

Kami hanya bisa bengong; menebak isi dibalik topi Pak Polisi.

Dan tengah November lalu, Polisi Yogya bikin banyak orang bengong. Mereka menyantroni sebuah kantor pengembang aplikasi mobile dengan tuduhan itu adalah tempat perjudian online.

Dari 3 kejadian di 3 dekade yang berbeda ini setidaknya menunjukkan kalau polisi di Polda DIY tak menunjukkan dirinya mampu belajar. Bukannya tambah pinter tapi tambah bikin publik bengong. Tapi polisi pasti tidak salah. Yang bodoh itu pasti yang bengong.

Di laporan saya yang kedua kali ini, saya ingin tak hanya melaporkan polisi yang intimidatif ke saya di hari Sabtu lalu di depan Kantor Telkom, Kotabaru. Rencananya saya sertakan nama Kepala Bidang Propam dalam nama yang saya laporkan. Saya menilai dia tidak kerja, alias makan gaji buta. Buktinya saya masih mudah nemu polisi berperilaku bandit bertebaran di jalan raya. Kalau dia kerja dengan benar, saya pasti tak nemu lagi kegiatan ini. Sayangnya saya baru paham kalau mau melaporkan kabid propam kudu ke mabes polri.

Semoga ini bisa jadi masukan untuk kerja Kapolda yang baru. Saya lakukan ini karena saya cinta polisi. Saya cinta Polri. Saya ingin polri hanya diisi oleh insan-insan berintegritas, berdedikasi untuk melindungi dan melayani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun