Mohon tunggu...
Tauhid Aminullloh
Tauhid Aminullloh Mohon Tunggu... -

masih belajar berwirausaha di future-works.net. Punya ketertarikan di obrolan tentang pendidikan dan branding. Tersedia di @popobumitantra

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Analisa Klinik Kopi dari Tinjauan Filsafat Branding

14 Juli 2014   03:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:25 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setahun ini,  saat sore atau malam saya lebih mudah ditemukan di sebuah warung kopi bernama Klinik Kopi. Selain karena kopi adalah wahana procrastinating terbaik yang saya tahu, Klinik Kopi menempati area yang keluarkan aura nyaman. [caption id="" align="aligncenter" width="629" caption="Arrupe Huis, Kantor PSL-USD yang digunakan Klinik Kopi berpraktek"][/caption] Warung kopi ini terletak di antara 6000 meter persegi hutan jati milik Universitas Sanata Dharma (USD) yang juga jadi lokasi penangkaran berbagai jenis burung yang dikelola Pusat Studi Lingkungan (PSL) USD. Rindang pohon dan riuh burung membuat pengunjung terisolir dari hiruk pikuk suasana kota, padahal lokasinya masih di tengah kota. Saya juga nemu banyak keunikan dari bisnis milik Firmansyah a.k.a Mas Pepeng ini. Dia meladeni tiap pelanggan secara personal. Bagi pengunjung yang baru pertama datang, Mas Pepeng bisa mendongeng  ikhwal kopi—mulai dari panen, proses pasca-panen, pemanggangan biji kopi (roasting) hingga penyajian (brewing). Dibantu berbagai tabel, foto dan video di tabletnya, durasi kisah bisa mencapai 20 menit, bahkan bisa satu jam jika si pelanggan baru banyak tanya. Jadi buat yang stok sabarnya mepet, jangan ke sini deh! Antrenya bisa lamaaa. Kopi yang disajikan pun bukan kopi yang ramah bagi setiap pembeli. Jangan harap nemu gula, karena Klinik Kopi mengajari menikmati rasa kopi yang sebenarnya tanpa pemanis apapun. Kopi diseduh dengan alat manual brewing,  metode pour over dan esspreso menggunakan hand esspreso maker merk “Rok”. Ngopi di Klinik Kopi tak hanya dapat kopi, namun berbonus pemahaman tentang kopi dan cara menikmati kopi yang kaffah (seutuhnya). Mas Pepeng bersedia berbagi  pengetahuan tentang kopi. Bujangan 34 tahun ini tak mau disebut barista, lebih suka disebut pendongeng kopi. Mas Pepeng memulai Klinik Kopi di bulan puasa tahun lalu. Di usianya yang baru setahun, Klinik Kopi telah melahirkan banyak peminum kopi baru. Bahkan banyak yang tak sekedar menikmati kopi. Ada beberapa pengunjung yang kemudian tertarik berbisnis di dunia kopi. Setidaknya ada 5 pelanggan kopi di Klinik Kopi yang kini membuka café. Mas Pepeng menceritakan fenomena ini dengan gembira, sama sekali tak menganggap café-café yang baru bermunculan itu adalah ancaman untuk bisnisnya. Segala keunikan itu belum pernah terjadi di cafe mana pun di Indonesia. Sebelum ini para pelaku bisnis kopi di sini cenderung merahasiakan pengetahuannya. Entah itu di level perkebunan kopi, perdagangan kopi, perostingan ataupun pembrewingan. Tak heran jika kemudian jarang ada orang Indonesia yang paham dan bisa menikmati kopi dengan benar. Banyak café yang jadi sekedar tempat nongkrong atau cari wifi, bukan untuk menikmati kopi. Tak ada gula, gak boleh rokok, antri lama dan tanpa wifi ternyata tak membuat Klinik Kopi sepi. Saban hari minimal ada 60 pengunjung, dengan omzet per hari minimal Rp 600 ribu. Oh ya, kopi di sini bisa dinikmati dengan harga mulai Rp 10 ribu. #misi Pertama kali datang menjadi pasien di Klinik Kopi, saya langsung menangkap bahwa apa yang dilakukan Mas Pepeng bukan semata jualan kopi. Dia jelas punya misi sangat orisinil dalam bisnisnya, yaitu membuat orang Indonesia menyadari dan menikmati salah satu kekayaan negerinya: KOPI. Misi biasanya lahir dari keprihatinan, dan memang selaku negara pengekspor kopi terbesar ketiga di dunia,  negeri ini memang memprihatinkan. Orang Indonesia (OI) lebih doyan kopi sachet yang nyaris tak ada kopinya. Kopi kita lebih banyak dihargai di luar negeri. Budaya ngopi mudah ditemukan di banyak kota di Eropa, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Padahal di banyak negara tadi tak ada pohon kopi. Rerata konsumsi per kapita (per orang per tahun) di Eropa mencapai 6 kg, angka tertinggi adalah Findlandia yang mencapai 12 kg. Bandingkan dengan konsumsi kopi orang Indonesia per kapita tahun 2012: 0,8 kg saja! Dalam ilmu bisnis mengidealkan: seharusnya entitas bisnis lahir dibarengi misi. Keberadaan misi membuat ada tujuan baik yang diperjuangkan, sedangkan uang hanya merupakan dampak dari tercapainya tujuan. Misi adalah ranah filosofis dari sebuah perusahaan, ranah hakikat mengapa publik memerlukan keberadaan perusahaan ini. Hampir semua perusahaan mengaku punya misi. Biasanya ditulis dengan kalimat indah, dipigura cantik dan dipajang di dinding kantor yang paling eye-cathing. Namun sayang, kebanyakan misi ini hanya jadi barang pajangan, sekedar memenuhi kaidah perusahaan yang baik. Sifatnya yang bermuatan filosofis membuat misi sering menjadi pengingat arah bagi banyak perusahaan. Seperti kredo dalam dunia ilmu pengetahuan: bila ilmu terapan tak memberi solusi, maka lihatlah kembali ke level hakikat. Kalau jalannya perusahaan tak sebaik rencana, dilihat lagi saja misinya. Misi dan branding punya kaitan kuat. keduanya membicarakan makna; berupaya memberi nilai bagi manusia dan kemanusiaan. Branding adalah salah satu strategi yang bisa digunakan untuk mencapai kesuksesan perusahaan. Ada banyak pilihan untuk membuat bisnis sukses, yakni dengan strategi  penjualan (selling), pemasaran (marketing) dan branding. Tiga cara ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar, salah satunya adalah perbedaan pada fokus strateginya. Penjualan fokus di produk, memikirkan cara menjual sebuah produk. Pemasaran fokus di target pasar, memahami dan memenuhi keinginan pasar. Sedang branding fokus di upaya memberi makna.

Penjualan --> fokus di PRODUK Pemasaran --> fokus di TARGET PASAR Branding --> fokus di MAKNA

Dengan misi mempopulerkan kopi bagi orang Indonesia, Mas Pepeng justru melihat hal yang positif bila makin banyak orang yang mendirikan café dan turut pula mengedukasi pasar. Tumbuhnya bisnis café tak dilihatnya sebagai pesaing, justru menjadi kolaborator baginya mencapai misi. #strategi Tak banyak bisnis yang mampu menerapkan strategi branding dengan baik. Banyak yang terjebak dalam pemahaman branding sekedar membuat logo dan cara promosi, yang akhirnya mengabaikan esensi makna. Kasus branding baik yang sering jadi contoh adalah Apple. Dia tak hanya jualan produk, dia memberi makna ‘kreatif, sukses dan free thinker' di produknya. Pengguna produk Apple serta merta merasa lebih ‘kreatif, sukses dan berani cerdas’ setelah menggunakan produk Apple. Hal yang sama ada pada Adidas dan Nike, yang mampu memberi makna ‘keren dan sehat’. Baru pakai jaket atau sepatunya saja orang sudah merasa lebih keren dan lebih sehat. Upaya memberi makna memiliki banyak konsekuensi. Memilih strategi branding punya konsekuensi harus mengedukasi, agar pasar mampu menangkap esensi maknanya. Kopi pahit pasti bukan selera orang Indonesia pada umumnya. Bagi mereka kopi ya harus manis. Berbeda dengan strategi pemasaran yang memang berusaha mencari  pasar, sehingga produk yang dihasilkan akan lebih mudah diterima pasar karena menyesuaikan dengan selera pasar yang sudah terbentuk selama ini. Memilih strategi branding hanya cocok bagi yang bermental kuat serta visioner karena produknya jarang memenuhi selera orang pada umumnya. Karena target pasar dari strategi branding sangatlah sempit. Di awal, branding HANYA bisa menyasar orang bermental tertentu, yakni innovators atau setidaknya early adopters. Dilihat dari jumlah, dua spesies manusia ini adalah minoritas.

14052553881484055616
14052553881484055616
Ini berbeda dengan strategi pemasaran yang memang sering mencari jumlah pasar yang gemuk. Konsekuensinya, dampak dari strategi branding biasanya baru akan terasa dalam jangka panjang. Karena strategi ini baru bisa berjalan setelah berhasil meyakinkan pangsa innovators & early adopters ini. Orang-orang ini lazimnya jadi trend setter di lingkungannya. Para early & late majority akan ikutan jadi konsumen bila innovators dan early adopters telah menjadi salah satu konsumen. Lalu bagaimana bisa Klinik Kopi laris pada usia satu tahun? Jawabannya ada pada apa yang dilakukan Mas Pepeng sebelum mendirikan Klinik Kopi. Dia selama dua tahun menjajakan konsep kopi secara berkeliling. Di sela pekerjaannya sebagai pemasar on-line produk furniture untuk pasar ekspor, dia meladeni kebutuhan kopi teman-temannya di rumah. Temannya bisa datang ke rumah Mas Pepeng. Dia juga melakukan private brewing di banyak kantor, LSM, atau rumah perseorangan. Konsumen private brewing ini yang akhirnya mampu menggerakkan pasar yang lebih luas. Beberapa di antaranya adalah Eko Prawoto, Yu Sing, Sitok Srengenge, Akhmad Nasir  dan Dhandy Laksono. Coba saja cek follower akun twitter masing-masing orang ini. Di twitter pula mereka turut mempopulerkan kepakaran Mas Pepeng. Strategi ini pun memiliki "dampak buruk". Ada stereotype yang muncul bahwa Klinik Kopi adalah komunitas yang cenderung tertutup. Hingga sekrang sangat jarang ada pengunjung Klinik Kopi yang pertama datang secara sendirian. Hampir semua berani datang pertama dengan mengajak teman atau karena diajak teman. Sampai sekarang Mas Pepeng masih meladeni private brewing. Bedanya, dulu tarifnya hanya dihitung dari jumlah kopi yang diminum, yakni  Rp 10 ribu per cup. Kini tarifnya sudah per jam, sebesar  Rp 700 ribu. Duit itu hanya merupakan dampak dari misi yang mengejawantah. #operasi Tak banyak yang bisa punya nafas panjang mengaplikasikan strategibranding. Biasanya orang tak sabar hendak melihat dampak memetik untung. Banyak pebisnis pindah jalur ke strategi pemasaran atau bahkan penjualan. Di ranah ini, Klinik Kopi sangat konsisten menjaga strategi komunikasinya. Strategi komunikasi branding berbeda dengan pemasaran dan penjualan. Karena hanya fokus di manfaat inti produk, strategi penjualan cukup bercerita tentang APA produknya. Di pemasaran, pemasar akan berkisah tentang BAGAIMANA produknya karena yang dicari di segmen ini adalah keunggulanproduk. Di branding beda lagi karena untuk menggaet segmen ini harus sangat memperhatikan logika dan emosi target. Brander kudu mampu bercerita MENGAPA publik perlu menggunakan produknya. People don’t buy WHAT you do, people buy WHY we do.
Penjualan --> fokus di produk --> mengkomunikasikan WHAT Pemasaran --> fokus di target pasar --> mengkomunikasikan HOW Branding --> fokus di makna --> mengkomunikasikan WHY

Kepada setiap pembeli yang berkunjung pertama kali di Klinik Kopi, Mas Pepeng akan menegaskan MENGAPA orang Indonesia perlu minum kopi dengan benar. Konsistensi di strategi ini juga tampak di brand activation lain. Misal aktivitas co-creation, Mas Pepeng sering bikin kegiatan yang melibatkan pelanggan. Sekedar diskusi kecil, kelas roasting atau edukasi ke petani kopi. Klinik Kopi nyaris tak pernah melakukan strategi yang identik dengan strategi penjualan. Misalnya diskon atau promosi hard selling lain. Kalau pun ada diskon, biasanya justru untuk menguatkan misi. Misalnya diskon untuk pelanggan yang datang bersepeda atau berseragam SMA. Klinik Kopi juga tak melihat pengetahuan sebagai hal yang perlu dirahasiakan. Pengetahuan tentang kopi, cara penyajian kopi yang baik, hingga roasting kopi bisa didapat siapapun secara gratis. Cuma bayar kopi yang dipesan. Ini adalah praktek pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang benar. “Scientia potentia est,” kata Sir Francis Bacon di bukunya yang terbit di tahun ketika Sultan Agung masih balita. Kurang lebih artinya ‘knowledge is power’. Dia meramalkan akan datang jaman ketika pengetahuan adalah aset terpenting. Dan kinilah jaman itu. Namun pengetahuan adalah aset yang unik dibanding aset yang lain seperti tanah, bangunan atau kendaraan. Pengetahuan justru akan bertambah ketika dibagikan. Praktek membagikan pengetahuan ini juga menghasilkan dampak lain, salah satunya adalah kolaborasi. Klinik Kopi saat ini menjadi collaborations workspace yang menyenangkan. Ada banyak pengunjung yang menemukan partner baru di sini. Banyak kegiatan yang dilakukan sebagai hasil kolaborasi antar sesama pengunjung Klinik Kopi. Baik itu yang bersifat bisnis, sosial, maupun sekedar keakraban. Akhirulkalam, dirgahayu Klinik Kopi. Well done, Mas Pepeng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun