Mohon tunggu...
Taufiq Winarno
Taufiq Winarno Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Perkuat Karakter, Lebarkan Toleransi"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Misteri Goa Pawon, Kunci Peradaban Manusia Sunda?

12 Oktober 2013   11:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:38 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap wilayah tertentu memiliki sejarah peradaban yang berbeda dan tidak sedikit temuan-temuan yang diperoleh oleh beberapa negara, juga berguna untuk menambah serta memperkuat pengetahuan mereka terkait asal-usulnya. Di Amerika, ada teori perpindahan Siberia-Alaska, berbicara soal kedatangan manusia Amerika yang diperkirakan sudah ada sejak 20.000 dan 50.000 tahun yang lalu. Konon, orang-orang Amerika datang melalui daratan yang menjembatani Siberia saat zaman es terakhir.

Sedangkan di Indonesia, khususnya di daratan Bandung, ada teori pertahanan hidup manusia dengan berburu, berbicara soal kedatangan manusia Sunda yang sudah ada sejak 5.000 hingga 9.500 tahun yang lalu. Info temuan yang berkembang ke publik hingga saat ini menyatakan bahwa di Bandung pernah ada sekelompok manusia yang bertahan hidup dengan berburu dan diduga mengikuti pergerakan hewan buruannya dari Cipatat di Bandung Barat hingga ke wilayah Dago Pakar di Bandung Utara.

Hasil temuan Tim Observasi Balai Arkeologi Bandung terkait eskavasi (penggalian), seperti dilansir Disparbud Provinsi Jawa Barat (4/7), setidaknya telah ditemukan lima kerangka manusia purba di Goa Pawon. Selain itu, mereka juga menemukan fosil yang diduga sebagai sisa makanan manusia prasejarah. Yaitu, cangkang kemiri, tulang sapi, ikan laut, siput, kepiting, hingga rahang monyet. Bahkan, dalam eskavasi tersebut, Arkeolog Bandung ini menemukan obsidian, jasper hijau, dan batu andesit yang diduga sebagai alat yang digunakan oleh para manusia sunda 'pawon' untuk beraktivitas.

Obsidian yang sama, pernah ditemukan juga di wilayah nagrek, sebuah wilayah yang kaya dengan silika sebagai bahan baku pembuatan alat penting pada zamannya. Disinyalir, ada kemungkinan bahwa kelompok manusia prasejarah di daerah nagrek telah memproduksi obsidian dan menjualnya dengan sistem barter ke berbagai kelompok lainnya diluar Nagrek, termasuk Bandung Barat. "Adanya fosil sisa makanan berupa kepiting dan ikan laut di Goa Pawon menunjukan pada masa itu kelompok manusia sudah melakukan transaksi, karena tidak mungkin terdapat kepiting dan ikan laut di sekitar Goa Pawon yang dahulu dikelilingi oleh rawa," terang seorang Arkeolog Bandung, Lutfi.

Oleh karena itu, para peneliti menduga bahwa dahulu manusia prasejarah ini hidup berkelompok dan saling berinteraksi antar kelompok lain. Hipotesis ini muncul seiring ditemukannya obsidian berupa kaca beling yang digunakan sebagai alat pemotong di Goa Pawon. Padahal, Goa Pawon sendiri berada di wilayah karst dan tidak memiliki sumberdaya bahan baku pembuat obsidian kecuali Nagrek dan beberapa tempat lain di luar Goa Pawon.

Goa Pawon berada di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Goa ini terletak di puncak Bukit Pawon dengan ketinggian 601 meter di atas permukaan laut dan memiliki panjang 38 M, lebar 16 M serta 3 buah rongga laksana kamar yang dilengkapi dengan sebuah jendela alami di atas goa sebagai tempat masuknya cahaya matahari. Sedangkan tinggi atap gua, hingga kini belum dapat diketahui secara pasti. Pasalnya, saat goa ini ditemukan, bagian atapnya sudah runtuh dan lantai goa pun hanya tersisa sedikit di sisi barat. Hal ini, dididuga akibat penggalian yang dilakukan oleh masyarakat setempat hingga mencapai kedalaman 4-5 m untuk mendapatkan fospat. Adapun lantai bagian tengah Goa sudah tertimbun oleh bongkahan runtuhan atap dan sebagian besar Goa sudah tererosi sehingga membentuk lereng yang cukup terjal.

Sementara itu, di perbukitan karts Citatah inilah aktivitas penambangan batu kapur dan marmer oleh warga terus berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan seolah sudah mendarah daging. Bahkan, penambangan tersebut mendapat restu dari pemerintah setempat. Pertanyaannya, jika penambangan itu terus dilakukan, mungkinkah anak cucu kita masih bisa melihat laboratorium alam di Karst Citatah? Mungkinkah warga atau pemerintah setempat bisa merancang pembangunan berkelanjutan yang senantiasa menggabungkan semua aspek dengan kelestarian ekologi setempat?

Bandung (5/10/2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun