SANKSI HUKUM BAGI PELANGGAR PSPB
BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Taufiqurrohman Syahuri
Hukum identik adil.
Hukum dalam pengertian law dapat dibedakan menjadi dua, pertama hukum dalam arti keadilan yang biasa ditulis atau disebut dengan istilah: ius, recht, atau right[1]. Maksudnya adalah hukum yang menandakan norma yang adil, yang dicita-citakan terkait dengan nilai moral. Pendangan demikian sejalan dengan pendapat E.M. Meyers dalam bukunya “De Algemene begrippen van het Burgerlijk Recht”[2] yang menyatakan hukum ialah aturan kesusilaan sebagai pedoman dalam pergaulan masyarakat dan penguasa. Kedua, hukum dalam arti aturan norma hukum semata atau peraturan perundangan yang kemudian dikenal dengan istilah lex, wet atau Act. Pengertian ini merujuk pada norma yang mewajibkan entah itu cocok dengan prinsip-prinsip keadilan ataupun tidak atau terkait atau tidak terkait dengan nilai moral. Tidak perlu ada hubungan antara norma moral dan norma hukum. Artinya, norma moral berdiri sendiri di samping norma hukum . Namun demikian, tidak seluruhnya kedua norma itu selalu harus terpisah, karena dalam bagian-bagian lain justru kedua norma tersebut kadang sulit dipisahkan seperti larangan mencuri dan memukul, ini mengandung nilai moral disamping norma hukum[3]. Pengertian pemisahan hukum dan kesusilaan ini dicetuskan oleh teori hukum positivism Hart[4] dan dikuatkan dengan teori hukum murni oleh Hans Kelsen[5].
Secara filosofi hukum identik dengan keadilan atau hakekat hukum adalah adil, hukum yang tidak adil sebenarnya tidak dapat disebut hukum lagi[6], ia adalah suatu penyimpangan atau suatu kewenang-wenangan, maka hukum yang tidak adil sudah seharusnya dilakukan perlawanan baik perupa opini kritis atau melakukan perlawanan di pengdailan. Norma hukum yang tidak adil ini dilihat dari substansinya dapat berupa regeling, beschikking dan vonis. Jika norma hukum itu muatan materinya atau substansinya berupa pengaturan (regeling) maka dapat dilakukan perlawanan melalui metode pengujian norma hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) bila berbentuk undang-undang atau di Mahkamah Agung (MA) bila berbentuk peraturan di bawah undang-undang, seperti Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah (Perda)[7]. Sementara jika norma hukum itu substansinya berupa penetapan adminsitratif (beschikking) atau keputusan pejabat tata usaha negara, yang ditulis dengan nomenklatur Surat Keputusan (SK), seperti misalnya SK Pemberian atau pembatalan ijin, dan SK Pengangkatan atau Pemberhentian jabatan. Apabila SK tersebut dibuat bersama-sama ditulis dengan nomenklatur Surat Keputusan Bersama (SKB), terhadap SK atau SKB ini perlawanannya dilakukan melalui mekanisme pengadilan tata usaha negara (PTUN). Namun akan menjadi persoalan hukum apabila wujudnya SK atau SKB yang muatan materinya atau substansinya pengaturan (regeling), atau substansinya mengatur namun dibungkus dengan bentuk Surat Edaran. Aturan model demikian dalam praktek perlawananya dilakukan melalui uji materi di MA[8]. Sedangkan norma hukum dalam bentuk vonis yang tidak adil dilakukan perlawanan melalui mekanisme banding, kasasi atau peninjaun Kembali (PK).
Selain tersebut di atas, norma hukum yang adil juga dari sisi penerapannya seringkali tidak luput dari problematikanya, terutama apabila ada norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau bentuk lain yang susbtansinya sama-sama mengatur terhadap peritiwa hukum yang sama, namun jumlah norma hukum itu lebih dari satu. Secara asas hukum apabila terjadi demikian maka sebenarnya sudah ada solusinya sungguhpun tidak ada dalam hukum tertulisnya, yang memberi jalan tiga alternitf kemungkinan. Pertama, Lex specialis derogat lege generali, yakni peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum. Kedua, asas Lex posteriori derogat lege priori yang artinya peraturan perundang-undangan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang lama. Ketiga, asas Lex superiori derogat lege inferiori yaitu peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas hukum ini akan menjadi penting pada era pandemi covid-19 di negara Indonesia mengingat di era ini pemerintah banyak menebitkan berbagai peraturan untuk kepentingan dan kepastian hukum guna menangani dan pencegahan terhadap penyebaran virus covid-19. Benturan antar norma hukum dapat saja terjadi dalam penerpannya.
Regulasi Covid 19
Pada masa era covid-19 ini muncul banyak peraturan perundang-undangan yang sengaja dibuat oleh Presiden dalam menghadapi dan menangani permasalahan covid-19 ditengah kehidupan msayarakat guna menekan angka penyebaran virus Corona. Sejumlah aturan diterbitkan baik dalam bentuk Perpu (Peraturan Presiden Pengganti undang-undang), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden ataupun Instruksi Presiden (Inpres). Semua aturan tersebut merujuk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan (UU Kekarantinaan). Untuk lebih jelasnya sejumlah aturan tersebut dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel Aturan Hukum Terkait Covid-19
NO
ATURAN HUKUM
KETERANGAN
Keppres Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19,
Gugus Tugas dibentuk dalam rangka menangani penyebaran virus Corona.
Perpres Nomor 52 tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan COVID-19 atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Perpres ini diterbitkan dengan pertimbangan bahwa penyebaran virus corona terus meningkat. Sehingga, dia menugaskan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono membangun rumah sakit yang saat ini dikhususkan untuk penyakit menular seperti Corona.
Inpres Nomor 4 tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Melalui Inpres ini, Jokowi meminta kementerian dan lembaga mengalokasikan anggarannya serta mempercepat pelaksanaan pengadaan barang dan jasa untuk penanganan virus Corona.
PP Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19,.
PP ini bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona. Kebijakan ini dinilai lebih cocok diterapkan di Indonesia daripada opsi karantina wilayah atau lockdown
Keppres Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Penetapan status ini didadari atas penyebaran virus yang luar biasa dan ditandai dengan jumlah kasus dan angka yang semakin meningkat.
Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Covid-19.
Melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) ini, diumumkan tambahan anggaran penanganan Virus Crona Rp 405,1 triliun.
Perpres Nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020.
Melalui perpres ini, anggaran kementerian dan lembaga dipangkas untuk menghadapi virus corona.
Keppres Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Keppres ini menjadi aturan resmi menetapkan wabah virus corona sebagai bencana nasional.
Sumber: Spripim Polri, Kumpulan Peraturan dan Pedoman Penanganan Covid-19.
Berdasarkan tabel aturan hukum diatas dapat disimpulkan bahwa Pemerintah sangat sungguh-sungguh atau serius dalam mengahadi pandemic virus covid-19 yang mendunia. Sebagai tindak lanjut dari aturan yang dikeluarkan oleh Presiden tersebut, diterbitkalah beberapa aturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menetri, dan Kepala Badan atau Lembaga Negara, seperti Kepala Kepolisian Republik Indonesia dengan jumlah sedikitnya 60 aturan[9]. Sebegitu banyaknya aturan yang terkait penangan Covid19 namun dalam penulisan ini hanya akan difokuskan atau dibatasi pada penegakan aturan PSPB (Pembatasn Sosial Berskala Besar) berdasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Penegakan Hukum PSPB
Istilah Pembatasan Sosial Bersekela Besar (PSPB) pertama disebut dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekerantinaan (UU Karantina). Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/ atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. PSPB ini merupakan salah satu pengaturan mengenai penyelenggaran Tindakan kekarantinaan sebagaimana diatur dalam UU Kekarantinaan Pasal 15 ayat (2) huruf b. Tindakan kekarantinaan lainnya berupa (a) Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/ atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi; (c) disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/ atau deratisasi terhadap Alat Angkut dan Barang; dan/ atau (d) penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan. Dengan demikian rujukan Batasan PSPB tidak akan dapat ditemukan dalam UU kekarantinaan, namun dalam peraturan pelaksnaannya. Pemahaman demikian penting apabila mengahadapi kasus pelanggaran PSPB di tengah mesyarakat. Seperti terjadi kebingunan norma hukum mana yang akan diterapkan dalam suatu pelanggaran PSPB[10]. Dalam konteks ini cukup merujuk pada pedoman asas hukum yang berlaku yuniversal yaitu asas hukum Lex specialis derogat lege generali, sebagiamana uraian di muka tulisan ini.
Ketentuan khusus mengenai PSPB ini diatur dalam peraturan pelaksana yang berupa Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 selanjutnya di tulis PP PSPB, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Vin¿s Disease 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kemudian PP PSPB dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Permen PSPB).
Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Menteri Kesehatan. Apabila Menteri Kesehatan menyetujui setelah mendapat usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Ketua Gusus), maka kepala daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Artinya disini pemberlakukan PSPB harus berdasarkan persetujuan Menteri Kesehatan dan Ketua Gugus. Jika suatu PSPB dinyatakan sah berlaku pertanyaan berikunya adalah bagiamana pengawalannya atau penegakan hukumnya apabila terdapat pelanggaran atas PSPB tersebut. Sementara baik di dalam PP PSPB maupun di dalam Permen PSPB sama sekali tidak mengatur engenai sanksi apabila terjadi pelanggaran atas PSPB tersebut.
Memang pengaturan norma hukum pemberian sanksi bagi pelanggar hukum apalagi sanksi pidana kurungan tidak sembarang Lembaga negara baik presiden maupun Menteri atau setingkat Menteri boleh mengaturnya dalam peraturan yang dikeluarkannya. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang diubah oleh Undang-undang 15 Tahun 2019 tentang Pemebentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya ditulis UU PPP), yang boleh mencantumkan sanksi pidna kurungan hanya peraturan dalam bentuk Undang-undang atau Perda (Peraturan Daerah). Mengenai sanksi pelanggaran PSPB dapat dilihat pada UU Kekarantinan Pasal 93 yang menyatakan setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/ atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 9 ayat (1) itu hanya menyebut setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sementara dalam Penjelsanya hanya ditulis “cukup jelas”. Jadi apa maksud anak kalimat yang berbunyi; “tidak mematuhi dan atau menghalang-halangi penyelengaraan kekerantinaan”. Inilah sanksi pidana yang terkait PSPB dengan ancaman pidana kurungan satu tahun. Artinya tindak pidana ini dapat digolongkan sebagai tindak pidana ringan seperti dalam kasus pelanggaran uu lalulintas jalan raya.
Sedangkan sanksi selain pidana ringan tersebut dapat dilihat pada perturan pelaksananya. Aturan pelaksna yang dimaksud antara lain Pedoman tentang dasar pengenaan sanksi terhadap pelanggaran pelaksanaan PSBB diatur dalam Peraturan Gubernur dan juga Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019. Sanksi yang diatur baik di Perda atupun di Pergub berupa antara lain sanksi administratif, pidana denda dan sanksi sosial sesuai kearifan lokal. Dengan demikian pelanggaran atas PSPB atau dapat juga disebut pelanggaran protokol kesehatan adalah bukan merukapan pelanggaran atas tindak pidana. Olehkarena itu semua peristiwa pelanggaran PSPB yang terbukti, tidak ada yang diproses hukum secara pidana. Seperti kasus kerumunan di kolam renang di beberpa daeraht dan yang terbaru kasus kerumunan di Mamere[11] Nusa Tenggara Timur yang melibatkan pejabat daerah dan pusat serta membuka toko atau caffé diluar jam yang diijinkan. Lalu bagaimana dengan kasus kerumunan yang terjadi di Petamburan yang melibatkan seorang tokoh agama[12], apakah peristima kerumunan tersebut termasuk dalam ketegori pelanggaran PSPB atau karena alasan lain pelanggaran hukum pidana sehingga ia ditahan? Sejatinya jika beliau melanggar PSPB maka penyelesainya sudah dilakukan dengan membayar denda. Namun ada dugaan pelanggaran lain berupa perbuatan pidana yang diatur Pasal 160 KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 6 (enam) tahun sehingga dapat dilakukan penahanan. Pasal 160 tersebut berbunyi: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”. Anak kalimat “perbuatan pidana” sejatinya tidak termasuk dalam pengertian perbuatan kerumunan sebagai peristiwa pelanggaran protocol Kesehatan atau PSPB yang bukan tindak pidana sebagaimana dijelaskan di atas. Untuk masalah ini perlu dilakukan kajian lanjutan tentu saja dalam pendekatan hukum pidana dan ilmu perundang-undangan.
Kesimpulan
Bertitik tolak dari analisis hukum di atas, dapat ditarik kesmpulan sebagai berikut:
- Penegakan hukum dalam konteks PSPB bukanlah penegakan hukum tindak kejahatan, dapat disamakan dengan pelanggaran seperti halnya dalam penegakan hukum lalu lintas jalan raya.
- Undang-undang Kekarantinaan khusunya di bidang PSPB tidak dapat diterapkan langsung tanpa melihat pada aturan pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur.
- Pelanggaran PSPB merupakan pelanggaran hukum administrasi bukan pelanggaran kejahatan. ***
Penulis Dosen HTN Fakulta Hukum UPN Veteran Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H