Taufiqurrohman Syahuri
(Pengajar Hukum Tata Negara FH UPNV Jakarta dan FH USAHID)
Dalam hitungan hari muncul dua Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri dan pejabat tinggi mengenai larangan melakukan sesatu. Lazimnya sebuah larangan itu adalah suatu regeling atau pengaturan, bukan putusan adminsitrasi negara (beschickking ) yang sifatnya final, indivial dan kongrit. Padahal sejak tahun 2004 masalah Peraturan dan Keputusan sudah dibedakan cara penulisannya. Jika sifatnya mengatur maka ditulis Peraturan. Tulisan berikut ini akan mengkaji secara yuridis duduk sebenarnya permaslahan penulisan SKB atau Peraturan Persama (PERBA).
Teori Hirakhi atau berjenjang norma hukum dikenalkan oleh Hans Keslen pada Abad ke 20 dengan nama Stufenbau theory yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hirarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi itu, berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi.Â
Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm (norma dasar). Norma dasar sebagai norma tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat dan menjadi sumber bagi norma-norma yang lebih rendah, oleh karena itu norma dasar itu disebut presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu.
Hirarkhi atau berjenjang norma hukum ini sejatinya jauh hari pada abad ke 7 telah dikenal dalam kepustakaan hukum Islam terutama kaitannya dengan sumber hukum Islam yakni yang terdiri atas norma hukum atau nas al Quran, dibawahnya secara berjenjang terdiri atas Sunah Rasul, Qiyas dan Ijma, atau sering juga disebut dengan uurutan al Quran, Sunah Rasul dan Ijtihad (ar rayu).
Teori berjenjang ini kemudian diadop dalam system hukum Indonesia yang diformalkan dalam Ketetapan MPRS Nomor 20 Tahun 1966 saat Orde Baru lahir, dan terus menurus di sempurnakan sampai 4 kali dengan Ketetapan MPR No. 3 Tahun 2000, UU No, 10 Tahun 2004 kemudian UU 12 tahun 2011 serta yang terakhir diubah lagi dengan UU 15/2019 dengan mana sama tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).
Hirarkhi norma hukum yang berlaku sah saat ini adalah Pasal 7  UU 12/2011 dengan perubahan UU 15/2019, yang  menetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas UUD, Tap MPR, UU/PERPU, Peraturan Pemerintah, PERPRES, dan terakhir Perda (Propinsi, Kabupaten/Kota serta Perdes).
Sedangkan jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tersebut mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan  Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
Jenis Perundang-undangan lain tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi atau karena kewenangannya (Pasal 8 UU 12/2011). Jenis peraturan lain ini sifatnya mengatur bukan penetapan atau keputusan adminsitrasi (beschickking) oleh karena itu ditulis dengan istilah Peraturan bukan Keputusan. Beschekking merupakan Keputusan Tata Usha Negara atau penetapan administrasi yang sifatnya final, mengikat dan individual, yang biasa disebut SK (Surat Keputusan).
Jika ingin mentaati UU 12/2011 maka semua yang sifatnya mengatur harus dengan nomeklatur Peraturan. Hal ini secara akontrario sudah diingatkan oleh Pasal 100 UU 12/201 bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Sehingga apabila ada hingga setelah tahun 2004 masih ada Lembaga negara yang menggunakan istilah Surat Keputusan untuk mengatur sesuatu atau yang sifatnya mengatur, berarti tidak paham dengan maksud dari UU 12/2011 sebagai perubahan atas UU 10 tahun 2004, yang secara tegas telah memisahkan istilah Peraturan dan Keputusan.