Mohon tunggu...
Taufiq Sudjana
Taufiq Sudjana Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis adalah kegiatan lain di sela pekerjaan di sebuah sekolah swasta di Kota Bogor.

Bacalah dengan Nama Tuhanmu, dan ... menulislah dengan basmalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keindahan Jalan Lain ke Tanjung Ann

5 April 2016   04:48 Diperbarui: 5 April 2016   05:04 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pantai Tanjung Ann, 30 Maret 2016"][/caption]Saat matahari mulai tenggelam, aku tiba di kotamu. Aku bergegas melintasi lorong-lorong bandara. Langkah kaki berpacu dengan kehendak segera bertemu denganmu. Ingin rasanya segera keluar dari bangunan itu. Selangkah lagi menuju pintu, aku melihat kerumunan orang di halaman sana.

Arrgghhh...kau dimana, kawan? Aku tidak melihatmu. Beberapa diantara orang-orang itu mengacungkan kertas bertuliskan nama. Mataku beredar, tidak ada namaku tertulis disana. Aku tertawa dalam hati. Kau tidak mungkin menjemputku disini. Ada diantara mereka yang menawarkan jasa untuk mengantarku ke tempatmu. Tapi aku memilih berjalan terus mencari ruang bebas dan sepi.

Syarafku mengeluarkan perintah untuk menghentikan langkah. Aku berdiri tegak sambil merentangkan tangan, menghirup udara malam kotamu. Kuhembuskan seiring niat mengusir penat dari rutinitas keseharian di kotaku.

Kawan! Aku tahu kau menungguku disana. Maaf jika malam ini aku memutuskan menginap disini. Kepalaku pusing. Mungkin karena otakku masih berisi sejumlah angka dan data dari memori rutinitas di kotaku. Barangkali pula karena kondisi tubuhku tidak sehat. Makanya aku memutuskan tidak segera menemuimu.

***

Pagi yang cerah menyambutku. Seiring reaksi ramuan farmasi yang kutelan, sisa penat perjalanan dan pusing di kepalaku lambat laun menghilang.

Dua jam sebelum matahari menuju puncaknya, aku keluar dari hotel. Kubuka peta digital. Kureka-reka rute perjalanan, jarak tempuh, dan kendaraan apa yang akan membawaku ke tempatmu.

Subhanallah! Kekagumanku tak henti sepanjang jalan. Pendar-pendar ceria mulai menyentuh otakku. Senyuman ramah dan logat khas kudengar dari orang yang menjawab pertanyaanku saat bertanya arah jalan yang harus kutempuh. Kupacu lagi laju kendaraan yang kusewa. Tak sabar rasanya ingin segera menemuimu.

Kawan! Tidakkah kau merasakan kerinduanku ini?

Sebuah kabar yang barangkali mewakili perasaanku saat itu sudah kulayangkan. Kutitipkan kabarku melalui serat frekuensi yang terpancar melalui signal telepon seluler. Entah kenapa kau menjawab datar. Patahan kalimatmu mematahkan rasa rindu.

Aku lupa, aku sering alpa. Memilih jalan yang tidak seharusnya. Padahal kau sudah menunjukkannya. Pertanyaanku setiap waktu seolah tiada jawaban.[i]

Kau malah dengan tegas mengatakan, “Aku tidak memaksamu mengikuti jalanku. Aku hanya memberi tahu kepadamu, jalan sudah aku tunjukkan. Rute yang benar sudah nyata adanya. Memang banyak jalan, namun jalan-jalan itu mungkin membingungkanmu. Bahkan ada yang bisa menyesatkamu.” [ii]

Aku jadi berpikir tentang sebuah ungkapan “Banyak Jalan menuju Roma”. Benar, kawan. Kita pernah berdiskusi tentang hal ini. Mengapa ungkapan ini begitu terkenal? Siapa yang pertama kali mengungkapkannya? Baiklah kawan, sekedar mengingat diskusi kita dulu, aku tulis lagi disini.

Kota Roma telah berdiri sejak tahun 753 SM, menurut sejarahnya perlu waktu sekitar 500 tahun bagi kerajaan Romawi untuk meneguhkan kekuasaannya hingga melewati semenanjung Italia.

Ungkapan “Banyak Jalan menuju Roma” dalam bahasa Inggris ditulis “All Roads Lead to Rome”. Mengapa kalimat itu menggunakan kata “road”? Sementara ada beberapa kosakata lain yang bermakna sama, seperti “way”, “street”, atau lainnya yang searti.

Kucari di Webster's Dictionary, testimoni beberapa orang, dan tambahan dari kawan bulemu. Kesimpulannya, “road” itu jalanan yang bisa dilalui kendaraan, tapi biasanya di luar daerah perkotaan dan bisa berkelok-kelok.

Sementara 'street' itu jalan besar di dalam kota (bisa terdiri dari 1, 2, atau lebih jalur) dan biasanya di pinggir-pinggirnya ada pedestrian/trotoar/ tempat untuk para pejalan kaki.

Lucunya, saat aku tanyakan tentang istilah ini kepada bule yang kutemui di kotamu, tidak ada yang mengerti benar perbedaannya. Atau barangkali aku yang kebingungan menterjemahkan penjelasannya. Apalagi saat kutanya apakah di negara kalian mengenal istilah “jalan tikus”? Hahaha...

Kita di Indonesia mengenal kata “jalan” itu sebagai kata yang mewakili sebuah lintasan yang bisa dilalui untuk menuju suatu tempat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti jalan yang kita kenal di negara kita adalah “tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dan sebagainya, perlintasan (dari suatu tempat ke tempat lain), dan yang dilalui atau dipakai untuk keluar masuk.”

Kembali ke ungkapan “All Roads Lead to Rome”. Kosa kata berikutnya yang dipilih disana adalah “lead”. Saik! Pikirku. Kau carilah maknanya! Aku hanya menemukan keterangan bahwa ungkapan ini mulai dikenal sejak sekitar tahun 1100-an.

Kala itu kita masih kebingungan mencari alasan mengapa ungkapan itu begitu terkenal. Kita terlalu bodoh dan menjadi korban kelatahan saja. Lantas kita pun bergegas ke perpustakaan. Mencari peta dunia. Sementara terjawab dengan gambar yang tertera di atlas itu. Referensi yang terbatas waktu itu memaksa kita mengambil kesimpulan sementara. Baru setelah kau lulus kuliah, kau memperkenalkanku pada peta Peutinger. Ada 12 jalan yang ditunjukkan dalam peta itu.

Setelah itu kita membandingkan dengan rute jalan menuju kota Makkah. Apa hasilnya? Silahkan cari petanya dan hitung sendiri ya. :)

***

Tidak terasa, sampailah di pantaimu. Aku begitu terpesona akan keindahan yang kau tawarkan disana. Segera aku abadikan pemandangan elok yang hadir di hadapanku. Angin laut seolah berbisik, tengoklah bagian lain di seberang sana. Telingaku mendengar suaramu, aku disini kawan! Di seberangmu.

Tawar menawar jasa perahu disepakati untuk menyeberang. Debur ombak menghampiri. Hening sesaat sesaat ombak menerpa perahu yang kutumpangi. Ada rasa takut. Jujur, aku tidak bisa berenang. Kau mungkin akan mentertawakanku jika melihat ekspresi saat ombak menghantam. Kepasrahanku sepenuhnya dalam kendali dia yang mengatur arah dan ritme kecepatan perahu.

Laut sedang pasang. Cermin yang kau pajang disana hanya memantulkan bayanganmu. Aku membaca sebaris kata dan arah panah. Hatiku mengatakan kau yang menggoreskannya di atas pasir itu. Aku minta perahu mengantarkan ke sisi lain pulau yang kau tunjukkan.

Terbelalak mataku bukan karena kaget. Aku tertegun bukan karena linglung. Di sisi ini aku merasa wajib bersyukur diberikan indera penglihatan yang bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Kuabadikan citra keindahan yang terpancar dari keindahan-Mu yang abadi.

Memoriku mengingat sebuah kalimat. “Innallaha jamiil yuhibbul jamaal”.[iii]

Aku malu pada diriku. Kau sering mengkritik ucapanku yang kasar. Bahkan acapkali protes dengan penampilanku yang tidak indah dipandang mata. Di depan cermin kamar hotel ini aku berkaca. Pantaskah aku bertemu denganmu? Pertanyaan yang mengantarkanku hingga tertidur.

 

Tanjung Ann, 30032016

Catatan Kaki:
[i] Lihat al-Quran Surat al-Fatihah (1) : 6
[ii] Lihat al-Quran Surat al-Baqarah (2) : 256
[iii] Sabda Rasulullah dalam yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dari Abdullah ibn Mas’ud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun