[caption caption="Sumber gambar: lusius-sinurat.com/"][/caption]Kawan!
Sungguh aku terperdaya oleh sihir teknologi. Produknya yang kian canggih semakin menjauhkan kehidupan dari sejatinya kenyataan. Apakah kau menyetujuinya atau tidak, itulah tujuanku mengirimkan kabar ini.
Beberapa waktu silam di pertemuan terakhir kita, kau bilang bahwa sekarang kau bekerja di sebuah institusi maya. Masihkah kau ingat pertanyaanku waktu itu? Aku bertanya seperti apa pekerjaanmu? Apa tugasmu disana? Dan tetek bengek lain yang akhirnya membuatmu pamit kembali ke kota dimana tempatmu bekerja. Aku pun terperdaya oleh kalimat-kalimatmu yang menjelaskan kota dimana kau bekerja.
Suatu ketika kau menghubungiku melalui telepon. Minta pin BBM. Aku bilang bahwa aku tidak punya pin BBM. HP-ku bukan keluaran terkini. Hanya ada aplikasi perambah internet bawaan pabrik. Kau bertanya padaku tentang sistem operasi telepon selulerku. Entah teknologi apa kau menyebutnya. Aku lupa, java, symbian, gprs, atau apalah. Kau menyebutkan beberapa istilah yang tidak kumengerti.
Kau ingat, kawan?
Aku tidak punya BBM. Kau minta akun facebook. Ketika itulah kau mengajariku membuat akun facebook. Kau tertawa terbahak-bahak sampai telingaku berdenyut. Kau mentertawakan email yang kusebutkan. Email pertama yang kubuat sewaktu kita masih sama-sama sering ke warnet. Kau pun yang mengajariku membuatnya. Email yang dipakai untuk mengirimkan tugas yang diminta dosen.
Sejak itulah kita berkomunikasi dengan memanfaatkan facebook. Hingga kabar yang kukirimkan ini pun kutitipkan pada akun facebook untuk disampaikan kepadamu.
Beberapa hari yang lalu kau telpon aku. Kau bertanya dengan tawamu yang khas. Kali ini langsung kukirimkan pin yang kau minta. Hahaha...aku ikut tertawa. Dan kini kau yang kepo. Ketika aku menyebut galaksi simulacra. Kukirimkan emoticon ROTFL berkali-kali.
Awalnya aku bertanya kepadamu tentang akun facebook. Sebab beberapa waktu yang lalu saat kukirimkan kabar terakhir, aku tidak menemukan lagi namamu. Kau jawab, nama akun diganti memakai nama belakang anakmu. Sambil tertawa kau bilang seraya mengutip ungkapan Shakespeare yang acapkali dikatakan banyak orang, “Apalah arti sebuah nama”.
Dari situlah aku teringat Jean Baudrillard. Seorang kawan lama yang tidak sempat kukenalkan kepadamu. Kita chating sampai hampir fajar tiba. Kau bersikukuh bahwa identitas dunia maya itu tidak penting. Mau memakai akun dengan nama apapun bebas. Sebebas berselancar di internet. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sebesar uang untuk membeli tiket pesawat.
“Kau hanya bermodal modem, dan kuota paket internet.” Katamu.