Metafor yang paling lucu dalam politik adalah idiom "akar rumput". Saya kira itu menjadi kalimat yang berpotensi merendahkan si konsituen/pendukung.Â
Tentu ini bukan ruang untuk menilisik akar kalimat tadi. (Pernah saya ulas di kanal lain dengan judul politik akar rumput).
Begitu seterusnya dqlam keseharian masyarakat. Metafor dalam bahasa politik semakin genjar. Yang paling mashur adalah "manuver", " bawah tanah" atau mungkin" main mata", musang berbulu domba dan kuda hitam.
Dalam pekan ini saja semakin eksis merafor politis tadi. Katakanlah, belok tanpa lampu sen/sign. Akrobat politik. Dansa politik. Menelikung. Dst
Menurut satu studi, bahasa politik dan hukum dianggap level budaya tinggi. Ia tidak bisa langsung dicerna secara simpel. Kecuali untuk hal hal yang praktis dan langsung.
Dalam kaitan ini mungkin metafor diperlukan oleh komunikator. Masalahnya kemudian, adalah apakah metafor itu semata untuk media pemahaman atau sekadar wacana tanpa kesadaran?.
Atau bahkan beberapa metafor bisa menunjukkan suatu pelarian dari substansi, Â ketidaktahuan dan menjadi sulit dibuktikan/ditagih: misal kalimat dari pejabat, di kantong saya ada uang 11 Triliun. Wah!