Sekolah tidak menjadi industri. Walaupun tetap ada imbalan jasa bagi si pengajar. Tapi tidak jarang juga setiap pengajar adalah orang yang telah freedom" secara finansial. Pengajar lainnya berprofesi ganda.
Sehingga selain dibiayai oleh negara, para guru juga sering memberikan uang saku" bagi para muridnya, mencukupkan kebutuhan mereka.
Sampai di sini, sekolah yang bermula dari guru ke guru, lalu beralih ke masjid dan lembaga publik (formal) terus diwarnai oleh hegemoni yang melingkupinya.
Saat imperialisme Barat dan berkembangkangnya paham sekularisme dan materialisme, serta penjajahan Barat terhadap dunia Islam (juga Indonesia), maka  berubah pula tata nilai sekolah dan citra sekolah di mata masyarakat umum dan di benak para siswa. Dan itu juga memengaruhi para cerdik pandainya kemudian.
Kegelisahan itu kiranya yang membuat tokoh sebesar Ki Hajar mendirikan taman siswa(1922) . Pun dengan sekolah sekolah yang dirintis oleh Muhammadiyah dan lainnya.
Namun agaknya, sampai di era kita sekarang, upaya menghidupkan nilai sekolah yang lepas" dari transaksi ekonomi dalam sistem lembaganya masih jauh api dari panggang.Â
Swastanisasi sekolah dan semacamnya bila tanpa orientasi yang luhur,sangat potensial menjadikan sekolah hanya sebagai pabrik", atau setidaknya corong bagi iklan tenaga kerja dan hegemoni kapitalisme yang akut: Sekolah betul betul belum bisa lepas dari iklim industri dan mekanisme" pasar global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H