Ini hanya penamaan yang rasis Belanda terhadap ragam perlawanan masyarakat Aceh dan kegilaan mereka terhadap kopi. Maka kopi miring juga semakna dengan semangat perjuangan rakyat Aceh saat itu.
Sementara secara perlahan, Belanda melestarikan budaya kopi dalam skema industri, tanpa ritus sebagaimana di atas tadi. Kopinya pun, konon, bukan lagi robusta. Namun beralih ke arabika yang sesuai dengan lidah dan georafis Eropa.
Maka wajar kopi ini jadi kualitas ekspor dan jadi primadona. Tentu karena ada kepentingan industri dan monopoli di dalamnya serta terputusnya mata rantai ulama dan umatnya:budaya menghidupkan malampun menjadi hura hura semata!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H