Filosofi Kopi Miring dari Aceh
====
Konon kisah ini bermula sejak abad ketujuh. Bermula dari Afrika ke Yaman lalu sampai ke sebagian pelosok Aceh.
 Itulah kopi! Begitu menurut Bang Helmi Aceh Barat yang mendalami kearifan lokal Aceh. Terutama adalah kopi Robusta, bukan Arabika.
Katanya, filosofi kopi di Aceh adalah tradisi kemuliaan. Bukan tradisi industri dan kebudayaan hedonis, seperti yang menjamur sekarang.Â
Kopi robusta sangat cocok dengan kondisi tubuh dan psikologis orang Aceh. Secara genetikal, lidah Aceh adalah penikmat kopi.
Masih menurut Bang Helmi, Â kepentingan dan hegemoni Belanda saat itu telah merusak budaya kopi di Aceh. Tidak hanya memutus mata rantai kopi Robusta (dengan menebangnya secara massal di beberapa dataran di Aceh). Â Namun juga berupaya memutus hubungan mulia antara guru/syeikh/ulama denga murid/umatnya.
Karena , Â tradisi kopi di Aceh pada awalnya adalah untuk menjaga stamina dan silaturahim dalam menghidupkan malam. Mengidupkan malam dengan shalat, dzikir dan belajar hingga terbit fajar. Lalu menyibukkan diri dengan aktifitas hari hari yang bermanfaat.
Itulah awal tradisi kopi di Aceh menurut versi Bang Helmi. Jadi, mereka hanya minum kopi di malam hari di sepertiga malam.Â
Ini memang masuk akal. Karena Nabi Muhammad saw sangat menganjurkan segera tidur selepas Isya lalu bangun lebih awal. Dan esoknya digunakan untuk bekerja dan ibadah. Dan kopi/budaya kopi belum menjadi industri. Sehingga tak kita jumpai warung warung kopi di sepanjang jalan ataupun di perempatan (sebagaimana sekarang di Aceh).
Adapun kopi miring menurut Bang Helmi dikaitkan dengan gelar" Aceh Pungo (melampaui akal sehat/ sering dimaknai gila").Â