Memang, sebagai bagian dari bentuk seni kata dalam formatnya yang khas, puisi masih berlomba dengan teknologi musik dan film/gambar yang bergerak.Â
Puisi seakan masih di ruang yang sempit. Di panggung yang kecil. Kita masih menganggap puisi sebagai jalan sunyi. Sunyi sekali.
Untuk itu, puisi yang tercipta sebaiknya juga membangun imaji indera (mata) si audiens hingga peristiwa dalam puisi itu bisa dicerna. Langsung melekat di benak penikmatnya.
Yah..walaupun tidak. Puisi tetap utuh dengan makna dan ritmenya saat kita bisa menerima sisi keindahan (nilai kebaikan) di dalamnya. Seperti saat kita melihat hamparan savana di atas bukit, tanpa mesti menyentuh dan memahami detilnya.Â
Sebab, puisi mungkin adalah keindahan itu sendiri. Kita hanya berusaha menyingkapnya dan mengambil maknanya sebisa mungkin.
Salam puitis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H