Mata mata mengapung di celah celah warna malam yang pecah. Tak ada rembulan perak. Hujan telah hilang jejak. Klakson klakson kendaraan yang galak dan sisa kesibukan untuk esok.Â
Program televisi yang diputar acak. Suara ribut di warung dekat rumah. Kafe kafe di perempatan jalan menjalar pelan dan sepi. Tak ada orang bertukar pandang. Hanya sederatan kursi kursi yang bagai tumpukan harapan setelah akhir pekan.
Langit langit kamar dipenuhi gambar. Pertemuan antartokoh dalam panggung drama abad klasik. Perundingan nota kerjasama antarnegara.Â
Dan gambar halaman belakang rumah yang akan menjadi kolam untuk menyejukkan mata kapan saja. Tempat beberapa ekor ikan bertemu dan membangun keluarga. Dan ikan tentu tidak perlu tidur berlama lama.
Mata ini memar membaca sejarah tubuh. Abad industri yang mengalungkan jarak antara jasa dan benda benda. Benda benda yang dirakit menjadi obat kesepian.
apakah kita perlu obat tidur juga? Tetiba suara suara berkejaran di ujung lorong...mengitari langit langit kamar.
Kupikir asyik bila segera menyeduh kopi sambil membuka jendela dan membiarkan malam bagai piringan hitam  yang memantulkan rima jiwa.Â
Mungkin aku bisa mengabadikan gambarnya dengan sekedip cahaya. Cahaya yang keluar dari matamu. Dan itu melampaui segala obat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H