Kesarjanaan secara bahasa sebagai tingkat keterpelajaran. Suatu gelar yang tereduksi oleh dunia kampus dan industri. Sebab secara akademik, tidak semua orang diakui sebagai sarjana (terpelajar/terdidik).
Maka menjadi sarjana adalah suatu level elite dalam suatu nilai masyarakat tertentu dengan sistem hidupnya yang berlaku.
Banyak tahapan untuk sampai ke level ini. Sebagian dengan usaha dan finansial sendiri. Sebagian lagi dengan jalur prestasi dan beasiswa (dari pihak swasta ataupun negeri).
Ada jutaan sarjana yang lahir di setiap tahun. Untuk satu prodi saja bisa mencapai ratusan lulusan perkampus. Rerata kampus mewisuda sebanyak dua kali per tahunnya.
Bahasa kemajuan dan industri kita menyebut mereka sebagai angkatan  kerja. Para ahli manajemen kantor dan perindustrian menyebut mereka sebagai Aset dan  SDM baru yang masih segar dan tetap perlu dilatih. Bahasa lainnya, mereka akan menjadi alat industri kebudayaan.Â
Dengan latar belakang dan pengalaman, para sarjana itu nantinya akan mampu memproduksi sesuai ketentuan norma industri atau sesuai lingkup kedudukan mereka.Â
Mereka akan mendapat kompensasi atas waktu dan keterampilan atau keahlian dengan rupiah atau dolar.
Ada banyak sektor yang seksi menururut angkatan kerja ini. Misal, perusahaan pemerintah, kenyamanan sebaga ASN dengan pola kedinasan.
Semua berpulang dari pangkal niat, persepsi dan orientasi mereka. Apakah menjadi terpelajar itu HANYA berujung pada Tenaga Kerja?.Â
Bagaimana tanggung jawab mereka selanjutnya terhadap lengembangan diri dan masyarakatanynya? Bagaimaba cara mereka untuk tetap terlibat dalam perbaikan sosial dan pengabdian tiada henti?
Tentu banyak nilai idealisme kesarjanaan itu akan hilang. Dunia kerja akan menghabiskan waktu dan tenaga mereka.Â
Bagi yang sibuk dalam pengembangan pengetahuan dan riset kampus, akan sibuk di puncak menara gading akademik, hanya sebagian kecil yang terlibat dalam proses sosial secara kompleks.
Dari satu sisi lainnya, para pakar SDM dan dunia kerja masih menganggap.bahwa lulusan kampus kita (hasil.pendidikan kita) belum singkron dengan dunia kerja. Prinsp sekolah kerja/kejuruan/vocation seakan mendesak menurut mereka. Belum lagi perkara alih teknologi dan adaptasi digitalisasi industri.
Ke manakah para sarjana kita tadi? Bagaimana dengan mereka yang lulusan luar negeri? Apakah mereka mesti disiapkan kantor dan meja kerjanya untuk bisa nyaman menetap di Indonesia?
Padahal sesungguhnya keterpelajaran dan hasil dunia kampus tidak semata bertumpu pada skil teknis tertentu.Â
Sikap kesarjanaan itu hendaknya membentuk pola pikir dan mengkonstruksi gagasan terus menerus sambil terus terlibat dalam isu sosial-masyarakat.Â
Mereka dapat mengelola sumberdaya dirinya dan potensi sosialnya untuk perbaikan kehidupan, menjadi pionir inovasi pembangunan dst. (Tingkat inovasi kita peringkat 87/135 negara)
Dan yang pasti, nilai keterpelajaran yang paling inti adalah kesadaran bertuhan dan memilih jalan kebaikan bagi kehiduoan dunia dan akhiratnya.Â
Sikap ini secara khas ditunjukkan dengan kebiasaan khusuk, rendah hati dan  menjaga shalat (ibadah) di malam hari. Itulah karakter terpelajar (dalam  Islam) yang sejati.
Hendaknya kamu terpelajar itu  terus berproses dalam pencarian makna (Creativity) hidup di pergantian siang dan malam. Sembari menyimpulkan: Tiadalah yang sia sia dari ciptaanNya. Hindarkan kami dari kepedihan (dunia) siksa neraka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H