Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inspirasi : Puisi yang Serius

7 Oktober 2022   09:40 Diperbarui: 7 November 2022   00:05 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Kompas. Ilustrasi ruang Lab. 

Inspirasi: Puisi yang Serius
==
Sejatinya semua puisi bisa dianggap serius, sebab selalu ada proses kreatifnya. namun, serius di poin ini sebagai penguat bahwa ada puisi puisi tertentu yang disiapkan dengan serius.

Persiapan itu tidak mesti dengan inkubasi yang panjang, paling tidak dengan pemilihan diksi dan konsentrasi bahasa yang ketat serta tema yang diangkat. dari sini akan tampak nada, suasana dan ritma puisi, dst.

Kemarin sore saya ada memublis sejenis puisi yang serius,  maksudnya,  saya tulis puisi itu tidak seperti puisi lainnya yang relatif lebih mudah,  dan pendek.

Yang saya tulis kemarin, termasuk puisi yang panjang, lebih dari 4 bait. Berjudul "Senja di Perbatasan".

Hanya saja,  puisi yang saya anggap serius itu tidak mendapat tempat "pilihan" (apakah yang memilih juga robot?  he he). Dari tingkat judul, memang tidak begitu noveltis, tapi dari isi dan perspektif serta pilihan kata di dalamnya, cukup signifikan menjadi pilihan, bahkan keterbacaannya lumayan. 

Linknya :https://www.kompasiana.com/taufiqsentana9808/633eb1d80788a34f5273af73/senja-di-perbatasan

Puisi senja di perbatasan, saya garap sebagai bentuk perenungan tentang perjalanan diri (manusia) dalam mencerna misi hidupnya.  Puisi ini, saya pikir berbentuk realis-eksistensial. Tidak sebagai puisi yang absurd. 

Dalam puncak perjalannya,  seorang manusia bisa saja menerjemahkan keindahan rembulan, semua metafor kebaikan, atau ia hanya terjebak dalam kesepian dan kesia siaan: mungkin itu semacam closing di bait akhir dari puisi "Senja di Perbatasan".

Baca juga, yuk:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun