Malam kemarin saya menyempatkan diri menulis puisi singkat berjudul " Tersesat di Warung Kopi".
Tak ada teknik seo khusus perihal judul, Â karena sebagian besar puisi yang saya tulis dengan spontan untuk membangun peristiwa tertentu. kadang ia juga bagian dari suatu impresi dari pengalaman langsung.
Begitupun puisi Tersesat di Warung Kopi, ia hanya tautan pengalaman yang membias ke pikiran, Â dan spontan saya tuliskan. secara prosedural, puisi sejenis ini merupakan peewakilan dari budaya urban kita yang terus menjamur, utamanya lagi cafe cafe yang terus sesak setelah pandemi.
Di kafe kafe itu, Â di warung kopi, Â orang bisa saja tersesat". Datang dan duduk tanpa maksud, Â atau sekadar menghabiskan waktu dan bersosialisasi dalam lintas maya, Â sambil memesan ragam jenis kopi dan minuman lain.
Seseorang mungkin tak membayangkan, Â tak mengingat bagaimana proses panjang kopi itu hingga sampai ke depan hidungnya.
Dalam rangkaian itu, Â ada petani, Â ada buruh, Â ada distribusi dan tentu ada kapitalisme dan gaya hidup modern yang semakin lebar tanpa batas.
Adapun yang tak biasa dari puisi tadi adalah terkait keterbacaannya yang melampaui dua digit.
Biasanya, Â puisi harian saya terbaca hanya 45 sd 56 viewer saja/judul dalam kurun 24 jam atau tiga hari.
Entah kenapa, Â mungkin karena faktor judulnya sangat novelty, tidak klise, atau karena faktor kopinya yang begitu melekat di benak pembaca. Menurut pembaca bagaimana? Â berikut tautan puisi Tersesat di Warung Kopi:
https://www.kompasiana.com/taufiqsentana9808/6329e6684addee1829266692/tersesat-di-warung-kopi
Di akhir bait puisi itu, Â ada sentuhan ironi yang saya tunjukkan, Â saat sang istri datang ke warung kopi yang menyadarkan lamunan penikmat kopi dan ke kasir membayar sisa utangnya...heh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H