Pada ranting patah di hutan yang kering, puisi kutitipkan. Kuingin ia menyimpan risau kemarau.
Pada pucuk sepi yang pucat, puisi puisi tertancap bagai kaki kaki waktu yang menandai jejak jiwa dan tubuh.Â
Padamu setiap huruf memantulkan gelombang metafor tentang siklus hujan dan cahaya yang merambat.Â
Kita kiranya bertemu dalam satu perjamuan yang rimbun oleh kegairahan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!