Mengantre Kopi
******
pagi jam sepuluh, Â
pada jam istirahat  kerja
aku ke Mae Kopi,
warung kopi tradisional
yang mashur di aceh barat.
aku mulai mencoba kopi disini setelah direferensi oleh mertua, Â enak katanya. dan orang orang juga sering ramai berkunjung:
masih selalu ada yang menyangka, Â bahwa mungkin saja, Â ada campuran daun" khas Aceh di dalamnya, Â padahal tidak pernah dibuktikan.
karena selalu ramai
utama di jam jam tertentu
maka mesti antre,
baik untuk dibawa pulang
atau minum di tempat
sesampai di sana
aku antre di bagian sajian kedua,
artinya aku menunggu sepuluhan cangkir besar-kecil dan gelas gelas yang segera diseduh kopi, Â
harganya bervariasi, Â dari 5 k sekali pesan atau 20 K yang dikemas dalam kantong plastik biasa.
ada juga yang memesannya dengan termos khusus untuk dibawa ke kantor/ke tempat kerja/ke ladang/ke lokasi memancing.
biasanya yang mengantre berjejer di dekat penyajinya,  atau mereka membentuk lingkaran di sekitar meja saji.  sebagian lain duduk di kursi  dan berbaur dengan pengunjung lain.
mereka yang di dekat penyaji akan selalu asyik melihat barista khas Aceh saat menyeduh kopi itu dengan ayunan tangan yang lincah.
sambil menunggu antrean seduhan kopi, aku membaca teks WA sesekali melihat sajian masakan ala Jepan di saluran televisi di warung ini.
Kopiku telah terseduh, dikemas dalam plastik, Â aku membayarnya langsung,
tanpa kasir
lalu beranjak pulang
membawa bungkusan kopi khas Mae
yang mashur di  Meulaboh,  Aceh Barat.
Teringat, Â petikan Pahlawan Teuku Umar:
Bila aku mati maka aku akan sahid
bila aku hidup besok, Â kita bisa bertemu di Meulaboh dan minum kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H