Aku Hanya Penambal Sepatu
******
setiap pagi aku pergi ke pasar utama
di kota kecilku. kota lama. Â kota dekat laut. aku pergi di awal pagi, Â setelah beberapa anakku berangkat ke sekolah, Â sekolah negeri, Â biar murah/gratis.
aku menepi ke lapak yang biasa aku tempati, Â di pinggiran jalan masuk ke dalam pasar rakyat, Â di belakangnya ada parit lebar yang keruh, Â menuju muara. di belakangnya lagi, Â ada mall besar untuk ukuran kami.
beberapa lapak penambal/sol sepatu lainnya berjejeran satu satu di sebelahku. Â pelanggan yang datang juga satu satu. Â kebanyakan ibu ibu, remaja dan sesekali bapak bapak dengan anaknya : aku menjahit sepatunya yang robek, Â mengganti tapaknya atau menambah jahitan agar lebih tahan.
masih syukur, Â belum dikenai sewa lapak, Â paling sesekali diminta oleh organisasi pemuda kampung, Â sekitar 2000 perhari.
Sudah puluhan tahun aku kerjakan pekerjaan ini. dorongan kerjaku di sini. entah kenapa aku tidak bermutasi menjadi nelayan, Â ABK atau karyawan pabrik tambang. entah, aku cocok dengan pekerjaan ini, Â orang rumah juga rela saja. istriku pernah membuka kios kecil di rumah, Â tapi tutup. pernah juga bantu menyetrika pakaian tetangga, dia juga bekerja membantuku.
tentang pendidikan anak anak, Â untuk tambahannya, Â aku ikutkan kelas kitab Quran, dan pendidikan dasar agama untuk kewajiban pribadinya, agar mengerti wajib dan haram.
Aku hanya penambal sepatu, Â penjahit sepatu. pendapatan tak tetap dan tidak seberapa. tidak ada asuransi hari tua, Â hanya asuransi sehat versi daerah. sekali jahit Rp 15 K saja, Â kadang 20 K. pelanggan yang datang tidak tentu, Â kadang sepi sama sekali, Â tak seorangpun.
setiap kali tanganku bekerja dan menjahit sepatu itu, Â aku niatkan seakan menjahit masa depan anakku, Â aku juga teringat Nabi Idris (Daniel) yang pertama sekali menjahit.