aku menjumpaimu malam ini
kamu diam.
kenapa kamu diam
diam adalah seni paling sulit katamu saat itu. entah sejak kapan engkau suka filsafat, atau ini laknat?
tapi malam ini engkau begitu diam. penuh diam. sangat diam. tanpa batas imaji
tanpa metafor yang bisa kubaca kembali
saat engkau berbalik, atau saat aku kembali lagi.
oo, mungkin ini salahku.
atau salah si sepi yang jauh.
ingat ya, sepi. bukan sofia itu.
aku jadi tak tahu mau bilang apa
diammu adalah ketakutan
lebih hebat dari hujatan
puluhan gelombang di laut lepas.
aku seperti kandas bila engkau diam. betul betul kandas, bahkan bagai dihimpit beribu Kg batu.
ataukah, diam bukan hanya seni
tapi juga jebakan dari ketakjuban
yang lain. atau diam juga jawaban. maksudku, seni menjawab, walau kadang tidak selalu efektif.
(baca juga. Psikologi Rindu  https://www.kompasiana.com/taufiqsentana9808/61619cfa24da9269e0411613/psikologi-rindu )
oh, Â ya, begini saja, kalau kau ingin berkata sesuatu katakanlah!, :
bukan dengan bunga atau puisi sapardi dan chairil.Â
tapi katakan dengan sebiji  hati yang engkau titipkan di sudut jendela pada waktu yang lembab, sebelum semua jadi kemarau. betul betul kemarau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H