Menghindari Hal Klise pada Puisi
Salah satu upaya untuk memasyaratkan puisi adalah dengan memperbanyak interaksi puisi di jejaring ingatan masyarakat, utama lewat media digital dan media massa konservatif.
Dalam benak masyarakat, puisi adalah  ekslusif sekali, wacana dan nilai seninya dianggap begitu meng-awan dan tidak membumi. Orang yang berkecimpung di situ dianggap tidak berdaya saing dan mungkin murahan.
Adapun pengajaran sastra di sekolah, masih berisi teks dan akademik sekali. Padahal, para siswa bisa lebih didorong untuk mengapresiasi puisi secara lebih terbuka dan dinamis.
Pada forum ini, agaknya diperlukan suatu uraian tentang beberapa hal klise yang perlu dihindari dalam mencipta puisi. Dengan maksud agar membantu para penulis puisi dalam mengembangkan kecakapan linguitiknya, sehingga karyanya segar dan tidak monoton.
Berikut beberapa hal agar terhindar dari  klise dalam berpuisi:
Pertama, memahami kembali fungsi puisi sebagai seni,yang menawarkan keindahan, kebaruan, pengertian dan inspirasi. Mungkin di poin ini, bisa jadi ada beberapa kata klise, tetapi dianggap baru dalam pendekatan kalimat dan daya imaji yang dibentuk.
Rembulan, adalah kata klise yang sering digunakan. Seseorang mesti dapat membangun metafora baru dan daya ungkap baru dengan kata tersebut: Rembulan turun di taman belakang. Misalnya, ...lalu mengembangkan bangunan peristiwa dan imaji serta konsep.
Kedua, memilih diksi dengan ketat. Spontanitas memang diperlukan. Namun pada hal lain, usaha memilah diksi secara ketat dan cepat, akan membantu kesegaran idiom puisi. Secara prosedural, diksi memang sangat menentukan. seorang yang menggunakan konsep free wreating, mesti cakap dalam menangkap abstraksi kata dan jalinannya terhadap karya puisi yang ia garap.Â
Bila tidak, puisinya akan kehilangan sintaksis dan berserakan, absurd dan gelap sekali: kecuali bila ia bermaksud begitu.
Ketiga, memperbanyak referensi. Referensi bagai katalisator bagi inspirasi dan ilham. Referensi bisa berupa teks puisi orang lain, tulisan apa saja, atau jalinan peristiwa yang mengikat pikiran maupun keseharian. Misal, seorang nelayan yang bercerita tentang gambaran takutnya saat gelombang tinggi di laut, bisa kita sajikan dalam daya ungkap puitis, sebagaima dalam poin satu dan dua.