Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Post Modernisme dalam Ironi

10 September 2021   10:58 Diperbarui: 10 September 2021   10:59 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Post Modernism dalam Ironi

Mari kita soal dan bicarakan:
pop culture, industrialization, post modernisme, yang membiak
dalam  pot globalisasi, corong media massa, dan digitalisasi.

Teknologi berlari
kita mengejar bayang sendiri
setiap orang kita temui,
setiap benda
setiap aktivitas
selfie dan groupie
menjadi komoditas.

Setiap tempat jadi market.
Lembaga lembaga sekolah semacam berlomba menjadi pabrik, "mencetak" generasi kata mereka, sesuai "input dan output"(itu istilah pabrik-industri) atau sekolah sekolah itu
menjadi rumah reklame dalam budaya industri, bursa kerja, SDM tepat guna, sekadar alat produksi.

Hmm, ya dalam pasar besar ini, engkau bebas "menjual" apa saja. sebab suasana hidup kita telah menjadi
potongan traksaksi materiil:
di kantor, pentas politik, pelayanan publik, pinggir jalan, di atas kasur, transaksi ekonomi berlaku.

Duh, kita mungkin tidak menjual anak kita dalam nego ekonomi. tapi si anak telah menjadi "komoditas" tak langsung dari industri pop, aplikasi media pop, gaya hidup dan trend budaya pop. Orangtua tak memiliki kekuatan otoritatif (bukan otoriter) bagi anaknya untuk bersaing dengan iklan dan tawaran tawaran program televisi-media sosial:
perlahan, terjuallah keperibadian si anak, waktu si anak, kesenangan si anak dan nalar objektifnya!: setia menjadi penganut trend.

Kita berada dalam persimpangan budaya
di tengah laju dunia, gamang dan merona.
kita sibuk mengkonsumsi budaya global,
dari pakaian dalam, minuman, makanan, pewangi ketiak sampai kekuasaan.

Kita lupa membangun mercusuar kebudayaan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun