Tangan Waktu
Karya Sapardi Djoko Damono
selalu terulur ia lewat jendela
yang panjang dan menakutkan
selagi engkau bekerja, atau mimpi pun
tanpa berkata suatu apa
bila saja kau tanya: mau apa
berarti terlalu jauh kau sudah terbawa
sebelum sungguh menjadi sadar
bahwa sudah terlanjur terlantar
belum pernah ia minta izin
memutar jarum-jarum jam tua
yang segera tergesa-gesa saja berdetak
tanpa menoleh walau kauseru
selalu terulur ia lewat jendela
yang makin keras dalam pengalaman
mengarah padamu tambah tak tahu
memegang leher bajumu
(1959) Â
Halaman 1, Hujan Bulan Juni Sepilihan Sajak.
===============================
Pengantar Pembahasan.
Upaya kecil ini sebagai bentuk apresiasi yang sederhana terhadap karya  seorang penyair besar. Ini hanyalah suatu pendekatan saja agar bisa saling berinteraksi dan berkontribusi dari sisi penikmat sastra. Di samping memang, Eyang Sapardi termasuk diantara penyair yang paling penulis kagumi, terutama dari segi keluwesan daya ungkap diksi, kesederhanaan dan penghayatan yang tersimpan dalam.
Beberapa puisi secara umum bisa mewakili maknanya sendiri secara zahir dan tidak membutuhkan interpretasi khusus. Demikian halnya dengan beberapa puisi Eyang Sapardi. Namun sebagai tabiat puisi, tetap ada makna dari atribut simbol yang digunakan penyair.
Adapun pemilihan puisi di atas (Tangan Waktu), disebabkan karena karya tersebut sebagai karya awal kepenyairan Eyang, ditulis saat ia usia sekira 19 tahun. Secara sosok, puisi tadi cukup mewakili pandangan hidup penyair sehingga masih relevan dengan keadaan sekarang. Alasan lain, secara taktis, puisi " Tangan Waktu " menjadi model bagi bentuk kreativitas penyair dalam memilih diksi. Artinya, puisi tersebut (dari judulnya) telah keluar dari kelaziman bahasa sehari hari.Â
Biasanya kita hanya mengenal separuh waktu, waktu muda, waktu malam atau semacamnya. Tak terpikir oleh kita bahwa Tangan Waktu pun dapat "terulur lewat jendela " Â dan "memegang leher bajumu".
Bahasan singkat
Puisi Tangan Waktu termasuk sebagai puisi modern dari segi bentuk dan strukturnya. Sifat itu  terlihat juga dari ritma yang tidak mengikat di ujung bait, sehingga termasuk dalam puisi naratif yang bebas, tanpa memerhatikan huruf kapital di awal kalimat,misalnya.Â
Yang tampak terikat dan kuat pengkonsentrasian bahasa/kata,  ada pada pilihan jumlah  baris yang konsisten pada tiap bait dan beberapa pemilihan kata sugesti yang dianggap penting untuk mencapai maksud si penyair.
Secara historis yang detil, penulis belum menemukan latar-sebab khusus kenapa dan bagaimana puisi Tangan Waktu diciptakan. Tapi menurut kebiaaan, puisi puisinya dapat selesai dalam sekejap. Ia dapat menulis 18 puisi dalam semalam. Sebagian ada yang mengendap di kepala Eyang Sapardi selama dua atau tiga tahun. Jadi kita anggap puisi di atas termasuk yang cepat selesai tapi telah melewati fase endap yang panjang, hingga pada suatu momen, ia terdorong untuk merampungkannya.
Dari tiap bait dalam puisi Tangan Waktu, tak menonjol rasa duka ataupun suka dan gembira. Yang terkesan adalah kehati-hatian, kewaspadaan, kesadaran dan mungkin sedikit cemas atau galau (cemas dan galau termasuk yang sering ia rasakan, kata pada satu wawancara).
Pada bagian ini, dapat diwakilkan dalam diksi/kalimat berikut:
Bait satu,Â
(tangan waktu itu) " selalu terulur, panjang dan menakutkan"/ "tanpa berkata suatu apa"//.Â
Bait dua, "terlalu jauh kau sudah terbawa"/" sudah terlanjur terlantar"//.
Bait tiga, "memutar jarum-jarum jam tua"/, "tanpa menoleh walau kauseru"//.
Bait empat,
(Tangan Waktu itu) " selalu terulur ia lewat jendela"/( "tambah tak tahu"/tiba tiba) "memegang leher bajumu"//.
Lalu kenapa penulis memilih kata kata di atas? setidaknya, sang penyair sendiri meyakini bahwa puisi memang betul betul berpengaruh dari kata kata yang dipilih. Maka tentulah kata kata khusus di atas sangat mewakili makna yang dimaksud Eyang Sapardi.
Bila kita telisik dari latar belakang Eyang Sapardi dan membandingkan dengan beberapa puisi lainnya, akan tampak bahwa pergumulannya sangat intens pada alam, pohon, batu, hujan, tanah, sikap eksistensial, kehidupan, kematian, pengharapan dan cinta.
Setidaknya berdasarkan  pendekatan struktur puisi dan latar penyair, kita mulai dapat menghayati bahwa  sejatinya puisi Tangan Waktu, bertemakan kesedihan, takut dan hampa dan (yang sering Eyang ingatkan) diiringi sikap aktif dengan kesadaran dan kesigapan.Â
Interpretasi dan penutup.
Disini karakter puisinya adalah impresionisme, bahwa sang Eyang menunjukkan kesannya tentang (rahasia) "Tangan Waktu" yang begitu siap dan tak bergeming serta mengintai kita saat kerja ataupun mimpi (tidur/lalai).
 Lewat puisi ini Eyang mengajak si engkau untuk menghayati hal yang sama seperti yang ia rasakan. Sebab Tangan Waktu itu tak akan "meminta izin" kepadamu bila ia ingin menarik "leher bajumu". Demikian juga, bila si engkau ingin kembali ke balik waktu, niscaya itu takkan pernah ia lakukan demi memutar "jarum-jarum tua".
 Hingga sebelum "terbawa "/terlena, "terlantar"  dan terlambat "tersadar", baik-baiklah menyikapi (Tangan) waktu yang "selalu terulur ia lewat jendela" (kesempatan dan pengalaman/persepsi yang kita alami sehari hari).
Adapun pesan khususnya, bahwa seorang mesti memanfaatkan waktu mudanya sebelum datang waktu tua. Juga memanfaatkan hidupnya (memandang lewat jendela) sebelum datang ajal (maut, si Tangan Waktu) yang  langsung menyergap dan menarik "leher baju" (harga diri dan  hidupmu).
Dari sini nampak pula bakat besar (saat itu, tahun 1959) kepenyairan Eyang dengan karya di atas, dan iapun telah betul-betul menjaga si " Tangan Waktu" dengan apa yang telah ia capai hingga ke usia 80 tahun kemarin// selamat jalan Eyang.
*Peminat studi kreativitas pada puisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H