Sila 4 Pancasila: Kerakyatan yang DIPIMPIN oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Jelas dikatakan di sila 4 bahwa 'kerakyatan yang dipimpin', sama sekali bukan 'kerakyatan yang diwakili'. Dipimpin jelas berbeda dengan diwakili. Bahkan dalam konteks tertentu artinya bisa berbeda 180 derajat. Dipimpin mengandung arti 'bersama-sama', sedangkan diwakili mengandung arti 'sendirian' atau 'terpisah'. Contoh:
- Pasukan maju perang dipimpin sang jenderal. Artinya jenderal dan pasukannya bersama-sama maju ke medan perang. Berbeda dengan jika, pasukan maju perang diwakili sang jenderal. Artinya sang jenderal yang maju perang sendirian.
- Rapat dipimpin oleh Ketua Rapat. Artinya rapat dilakukan bersama-sama oleh seluruh peserta rapat. Bandingkan dengan, rapat diwakili oleh Ketua Rapat, yang berarti sang Ketua Rapat rapat sendirian.
- Doa bersama dipimpin oleh sang pemuka agama. Artinya semua makmum ikut berdoa biarpun tinggal mengamini saja. Beda dengan, doa bersama diwakili oleh sang pemuka agama. Ini artinya sang pemuka agama berdoa sendirian sedangkan makmumnya sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
- Kekuasaan adalah milik rakyat dengan dipimpin oleh presiden. Artinya kekuasaan tetap milik rakyat, sedangkan presiden hanya menjadi organisator atau pengarahnya saja. Beda dengan, kekuasaan adalah milik rakyat dengan diwakili oleh presiden. Ini artinya kekuasaan rakyat sepenuhnya telah dialihkan kepada presiden.
- Acara makan-makan kenduri kampung dipimpin oleh Pak RT. Artinya semua warga yang datang boleh ikut makan. Beda dengan, acara makan-makan kenduri diwakili oleh Pak RT. Artinya semua makanan dimakan sendiri oleh Pak RT, warga nggak boleh ikutan makan.
- Atau contoh yang sedikit berbeda adalah bahwa, kekayaan negara digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ini jelas sangat berbeda dengan, kekayaan negara digunakan sepenuhnya untuk kepentingan wakil rakyat.
Maka jelaslah di sini bahwa arti dari 'dipimpin' sangat berbeda dengan 'diwakili'. Dan selanjutnya diterangkan di sila 4 tersebut bahwa kualitas pemimpinnya adalah yang mempunyai hikmat kebijaksanaan, yaitu pemimpin yang mumpuni secara menyeluruh dan mendalam di bidangnya, dalam hal ini adalah bidang yang terkait dengan kerakyatan. Maka hak-hak rakyat yang paling mendasarpun tidak boleh diwakili oleh beberapa orang saja. Termasuk di sini hak untuk memilih para pemimpinnya seperti walikota, bupati, gubernur, apalagi presiden. Hak-hak rakyat harus dilaksanakan secara penuh, dan dalam pelaksanaannya dipimpin oleh orang atau lembaga yang ber-hikmat kebijaksanaan.
Dalam realitas, hikmat kebijaksanaan tidaklah selalu menjadi milik orang-orang besar atau terkemuka saja. Tak jarang suatu kebenaran, atau hikmat kebijaksanaan, muncul dari orang-orang yang dipandang lemah seperti orang miskin atau anak kecil. Inilah sebabnya maka kata 'dalam permusyawaratan' didahulukan dari kata 'perwakilan'. Karena permusyawaratan lebih mengedepankan suara kebenaran dibandingkan dengan semata-mata suara mayoritas. Permusyawaratan lebih cenderung ke arah win-win solution dibandingkan dengan menang-menangan atau voting. Akan tetapi tidak bisa dihindari bahwa dalam situasi tertentu voting memang harus dilakukan. Inilah sebabnya dicantumkan kata 'perwakilan' di akhir dari sila ke 4 tersebut. Tetapi bila voting lebih banyak dilakukan dalam suatu pengambilan keputusan, maka ini adalah suatu pertanda mulai hilangnya rasa permusyawaratan dan hikmat kebijaksanaan di negeri ini. Jika hal ini terjadi, maka pertanyaannya adalah benarkah para wakil rakyat itu orang-orang yang dianugerahi hikmah kebijaksanaan? Wallahu'alam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H