Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saudara dari Perpisahan

19 Maret 2017   21:01 Diperbarui: 20 Maret 2017   06:00 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

           Saudara dari Perpisahan

Belakangan ini, trisno tidak terlalu menyukai kelasnya. Menurutnya kelas yang ditempatinya saat ini terlalu berisik, banyak orang yang suka bercanda dalam segala kondisi. Terlebih lagi, banyak teman yang suka bercanda dengan Trisno walaupun Trisno tidak terlalu suka bercanda. Sejak SMP dulu, Ia tidak terlalu banyak berbicara, sehingga sedikit pula interaksinya. Tapi di kelas yang sudah satu semester ini, seperti banyak yang terlalu peduli padanya. Bukannya Trisno tidak suka berteman, hanya saja Ia lebih terbiasa dengan lingkungan SMPnya dahulu.

Mendung mulai terlihat di sore hari itu. Semua berjalan seperti biasa, tidak ada yang aneh. Hanya saja, Trisno mulai merasa berbeda sebab hanya dirinya yang berjalan berlawanan arah. Semua temannya tampak berjalan keluar dari asrama sekolah, sedangkan Trisno dengan santainya melangkah menuju pintu masuk asrama. Ia baru saja pulang dari sholat Ashar di musholla yang tak jauh dari tempatnya saat itu. Trisno merasa sedikit bingung sebenarnya, namun wajah seorang yang berkumis tipis itu masih tampak biasa saja.

“Yokk Tris, udah ditunggu Pak Bontang nih. Bahkan seharusnya kita udah pada nyampe di aula sekolah dua menit yang lalu.” ucap Khansa, salah seorang teman satu lorongnya.

Trisno lumayan terkejut saat mendengar hal itu. Baru saja tiga langkah jaraknya dari pintu masuk asrama. Diriya belum bersiap sedikitpun, bahkan masih bersarung. “Lah, memangnya ada apa ya, Sa? Semua anak kelas sepuluh kah? jawab Trisno spontan, sambil melepaskan pecinya.

“Iya Tris, kata beliau semua anak kelas sepuluh wajib kumpul di aula sekarang. Eh, dua menit yang lalu maksudnya Tris. Buruan Tris, udah terlambat nih. Pak Bontag bilang ini penting banget.” balas Khansa.

Kalimat Khansa memnimbulkan banyak pertanyaan di hati Trisno. Tidak biasanya ada kumpul mendadak seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya sudah harus bergegas, tidak boleh banyak berfikir. Dengan melepas senyum dan ucapan terima kasihnya pada Khansa, Trisno langsung berlari menuju kamarnya. Dengan terburu-buru Ia ganti sarung dan peci itu dengan pakaian formal. Berpenampilan rapi sudah menjadi salah satu ciri khas dari seorang Trisno. Sebuah kebiasaan yang telah diajarkan orang tuanya sejak kecil.

Suara berisik semakin terdengar, sebanding dengan dekatnya Trisno dengan tempat berkumpul teman-teman sekolahnya. Emapat langkah sudah jaraknya sejak Ia masuk lewat pintu selatan aula, pintu berkaca yang sudah kelihatan sangat tua. Lahkah Trisno seperti orang kebingungan, tak jelas kemana arahnya. Matanya pun masih melirik dan menebak tempat berkumpul teman-teman kelasnya. Tidak seperti biasanya, sore ini teman-teman Trisno duduk secara acak, melanggar budaya duduk bersama yang sudah dibangun kelasnya sejak satu semester yang lalu. Dengan cepat, pria yang murah senyum ini mengambil tempat duduk paling depan yang kebetulan masih kosong.

Sebagai seorang yang sedikit bicara, Trisno hanya diam menatap keadaan sekitarnya. Disisi kiri depan, agak terpojok, terlihat seorang yang berurang kali mencoba kualitas microphone, sambil memutar-mutar tombol sound system milik sekolah.  Murid-murid kelas sepuluh masih terlihat bercanda, sambil menunggu suara informative dari Pak Bontang, guru social studiesasal Maluku yang sering bercanda. Walaupun Trisno merasa terlambat, tapi sebenarnya acara belum dimulai.

“Assalamu’alaikum Warahmatullah, My students!”, ucap pak Bontang dengan pengeras suara. Semua murid kelas sepuluh menjawab salam pak Botang dan siap untuk mendengarkan kalimat pak Bontang selanjutnya.

"Sebelumnya bapak minta maaf, Nak." Kali ini bapak akan mengumumkan informasi yang mingkin tidak mengenakkan bagi kalian. Mulai saat ini, kelas kalian akan diacak dengan susunan yang baru. Bapak tau kalau hal ini memang kurang nyaman bagi kalian. Apalagi kalian memang sudah dekat satu sama lain. Tapi yakinlah, Nak! ini adalah keputusan yang terbaik untuk kalian. Sekarang bapak akan bacakan daftar absen kelas kalian yang baru." kata pak Bontang dengan suara yang lunak.

Nama demi nama, kelas demi kelas dibacakan pak Bontang. Suasana semakin kaku dengan suara hujan gerimis di luar aula sekolah. Terlihat semua anak anak heboh dan berwajah kecewa. Kenapa harus ada sususnan kelas yang baru. Semuanya sudah sangat dekat satu sama lain. Semuanya sudah merasa seperti keluarga. Pertemananlah yang membuat mereka bertahan di asrama, walaupun mereka jauh dari keluarga di rumah.

Sebagai seorang yang menganggap kelasnya berisik, tak sepantasnya Trisno bersedih. Tetapi kenapa Ia merasa sangat kecewa. Padahal Ia juga terkadang mengeluh dalam hati sebab suasana kelas yang tidak kondusif akibat candaan teman-temannya. Apakah Trisno menyayangi teman-temannya? terlepas dari apapun tingkah laku yang tidak sesuai dengan kemauannya.

Trisno menatap Djarot, temannya yang dulu sering ikut sholat dhuha saat istirahat pertama. Keduanya saling menatap dan berjalan mendekat satu sama lain. Tampak agak kecewa wajah mereka. Mulai hari senin nanti, tak akan lagi mereka dalam satu kelas. Teman teman lainnya pun berwajah demikian. Bahkan banyak anak perempuan yang menangis diantara mereka. "Kenapa harus diacak ya Pak?" tanya anak-anak yang mengelilingi pak Bontang.

Kumpul kelas pun dilaksanakan esok harinya. Semua teman sekarang melepaskan kalimat-kalimat indah mereka, layaknya seorang penasihat atau bahkan motivator. Mereka saling mengungkapkan kesan dan pesan satu sama lain. Semuanya berharap, agar hari ini dapat menjadi moment kekeluargaan yang akan mereka jalin sampai kapanpun juga. Satu persatu mulai menangis, baik laki-laki maupun perempuan. Hanya beberapa laki-laki saja yang menahan tangisnya walaupun mereka sangat ingin menangis bersama. Suasana saat itu pecah oleh kesedihan karena mengingat akan kisah mereka yang luar biasa. Belum pernah keadaan kelas menjadi seperti ini. Semua merasakan kasih sayang yang tulus antara satu sama lain. Hati mereka berkata,"Kami berpisah disaat kami merasa sangat dekat satu sama lain. Persaudaraan ini akan selalu dijaga dimanapun dan kapanpun kami berada.

Sejak hari itu, Trisno kini merasa punya keluarga yang baru. Walaupun mereka sekarang tak sekelas, mereka selalu menjaga komunikas dan perhatian antara satu sama lain. Berteguran ketika bertemu, belajar bersama, saling membantu dan peduli adalah budaya yang tak hilang, bahkan bertambah. Walaupun Trisno orang yang tak banyak bicara, Ia tetap banyak disayang oleh keluarga satu kelasnya.

Nama : Taufiqurrahman

Kelas  : 10D (RAWK)

  

 

 

           

 

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun