Mohon tunggu...
Taufiq Pasiak
Taufiq Pasiak Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pemerhati Kajian Otak, Perilaku Sosial dan Cara manusia berpikir. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tantangan Neurosains dan Misteri Manusia

7 Juni 2016   12:25 Diperbarui: 7 Juni 2016   12:32 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan merupakan makalah yang disampaikan dalam acara Dialog Breakfast Pusat Studi Qur'an (PSQ)-Ciputat

8 September 2004, bersama Prof.Dr.Quraish Shihab dan Prof.Dr.Nazaruddin Umar, MA

Dialog Breakfast Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ)-UIN Jakarta, 8 September 2004.

Dialog Breakfast Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ)-UIN Jakarta, 8 September 2004.

TANTANGAN NEUROSAINS MENGUAK MISTERI MANUSIA

Sumbangan untuk pemahaman al-Qur’an[1]

Taufiq Pasiak[2]

Dia yang mengenal dirinya

Akan mengenal Tuhannya

(Hadits)

Bukan kebetulan jika terbitnya buku De humani corporis fabrica Libri Septem,buku anatomi pertama karya anatom Andreas Vessalius, bersamaan waktunya dengan publikasi buku De revolutionibus Orbium coelestium,karya Nicolaus Copernicus. Kedua buku yang terbit pada 1543 membawa revolusi besar dalam pemahaman atas dunia, baik mikrokosmos (manusia) maupun makrokosmos (alam semesta). Di kalangan astronom buku Copernicus memberi inspirasi yang sangat kuat untuk menjelajah alam semesta yang kemudian meluaskan lapangan pengetahuan manusia tentang alam semesta. Buku Vessalius—yang dibuatnya berdasarkan penelitian pada mayat-mayat narapidana yang dihukum gantung—membuka lebar pengetahuan manusia tentang diri biologisnya. Vessalius menggambar otak manusia berdasar apa yang ditemuinya pada mayat-mayat tersebut. Tidak seperti neurosaintis jaman moderen yang sudah berbicara pada level molekuler dan seluler, Vessalius baru sampai pada tahap makroanatomi.

Terlepas dari keterbatasan instrumentasi kala itu ada semacam sinyal yang memberi arah bahwa betapa pentingnya memahami alam semesta dan diri manusia. Ayat-ayat Allah fi ‘afaqidan fi nafsihimerupakan ‘buku’ yang harus dibaca agar dapat membawa perubahan yang revolusioner dalam kehidupan manusia. Untuk jaman sekarang, neurosains boleh dikata menjadi frontierterdepan dalam menjelaskan manusia.

Neurosains menjadi garda terdepan menguak tanda-tanda kekuasaan Allah dalam diri manusia. Bersama astronomi dan astrofisika, neurosains memberi kontribusi besar dalam pemahaman hakikat keberadaan mahluk-mahluk di alam semesta. Fisika klasik, sebagaimana diteorikan dalam mekanika kuantum, ataupun biologi evolusi Darwin, telah memberi banyak hal yang amat berharga dalam pemahaman manusia akan dirinya. Namun, neurosains lebih spesifik karena berbicara soal pikirandan perilakumanusia. Pikiran dan perilaku merupakan komponen manusia yang membuat manusia menjadi manusia.

Tujuan utama neurosains adalah memahami bagaimana cara neuron dan sinapsisnya menciptakan tingkah laku organisme yang sangat kompleks itu. Bagaimana neuron-neuron saling berinteraksi dan membentuk kerja otak yang terintegrasi merupakan ‘pekerjaan’ utama neurosains. Sejak awal berdirinya neurosains, terutama, berkomitmen pada pemahaman kerja otak dalam kerja molekulnya dan pencarian engram[3]dalam area-area otak. 

Secara ringkas, tulisan ini akan membahas beberapa hal berikut yang dipandang relevan dengan kebutuhan dan perkembangan mutakhir dalam neurosains:

  1. Neurosains dalam perspektif.
  2. Implikasi dalam bidang pendidikan, pengobatan dan filsafat.
  3. Psikoneuroendokrinologi
  4. Al-qur’an dan Neurosains.

1. Neurosains dalam perspektif

Sebagai sebuah istilah neurosains merupakan istilah yang berusia muda.[4] Penelitian tentang otak—sekalipun sudah puluhan tahun berlangsung—baru mendapat perhatian dan publikasi besar ketika George Bush senior menyatakan bahwa dekade 1990-2000 merupakan ‘Dekade Otak’. Dalam decade ini banyak biaya yang dikeluarkan untuk meneliti otak manusia, sekaligus telah dihasilkan banyak sekali temuan yang menguak misteri otak manusia. Menutup dekade itu. Tahun 2000 lalu, nobel kedokteran diberikan kepada Erick Kandel yang telah puluhan tahun meneliti proses dan mekanisme memori melalui risetnya pada siput laut (Apylasia Californica).

Penelitian Kandel bukan saja menguak bagaimana memori diatur dan komponen organik apa saja yang merupakan substrat biologi memori. Namun, ia juga memberi dasar biologis pada apa yang dikenal sebagai teori belajar belajar asosiatif dan nonasosiatif yang popular dalam psikologi sebagaimana dikenalkan antara lain oleh Ivan Pavlof. Dalam masa ini juga ditemukan substrat biologis dari emosi manusia. Josep leDoux menemukan peranan sistem limbic, terutama bagian bernama amygdala, dalam pengaturan emosi manusia. Sistem limbic ini dikenal sebagai ‘social brain’ karena mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial (an-Nas). Perilaku-perilaku tertentu diatur oleh komponen ini. Marah, misalnya. Sebelumnya kita tahu, setidaknya dari al-Ghazali, bahwa marah itu merupakan urusan psikis semata.

Selain penemuan mikroskop yang membuat penampakan ‘dunia lain’ yang kecil, penemuan bahan-bahan pengecatan molekul, seperti carmineyang ditemukan oleh Joseph Gerlach (1858) yang dapat mengecat badan sel saraf, juga potassium dichromatdan hematoxylinoleh Carl Weigert (1882) sehingga jaras-jaras (fiber) saraf dapat dilihat, atau penemuan teknik histokimia oleh Koelle (1934) yang memungkinkan molekul seperti neurotransmiter dan reseptor-reseptor dapat dilihat, membuat penguakan ‘dunia lain’ dalam otak manusia lebih terbuka lebar. Penemuan-penemuan ini memberikan kontribusi besar dalam neurosains.

Level Analisis

Ketika Rene Descartes menyebut kelenjar Pineal sebagai tempat kedudukan jiwa, atau yang lebih awal lagi Al-Farabi dan Ibn Sina yang menyebut kepala sebagai pusat daya berpikir, mereka sebenarnya telah berbicara beberapa aspek neurosains dari perspektif makroanatomi. Mereka memakai pendekatan pada level neurosains sistem (systems neuroscience) untuk melihat korelasi antara otak dan fungsi-fungsi kompleks seperti sistem visual, auditorik dan motorik[1]. Penolakan atas konsep mereka, terutama konsep Cogito ergo sum-nya Descartes, terjadi karena analisis baru terjadi pada level sistem ini. Salah satu sebabnya adalah lebih terlambatnya perkembangan instrumentasi biologis dibanding instrumentasi astronomis.

Dengan perkembangan instrumen, terutama untuk memantau living braindan aktivitas pada tingkat sinapsis, beberapa dekade terakhir penelitian lebih difokuskan pada molekul dan sinapsis. Analisis sudah berada pada level molekuler (molekuler neuroscience)dan seluler (Cellular neuroscience).Pada level molekuler dikaji peranan molekul-molekul otak dalam menciptakan tingkah laku kompleks manusia, seperti memori. Pada level seluler dikaji peranan molekul-molekul otak yang bekerja sama sehingga memberikan kekhususan pada sel saraf. Misalnya, menemukan bagaimana sel-sel saraf yang berbeda menghasilkan fungsi yang berbeda. Hasil-hasil riset pada level ini memungkinkan penjelasan yang lebih lengkap, rinci dan padu dibandingkan pada level sistem seperti dilakukan Descartes.[2] Salah satu pengaruh positif dari filsafat positivisme(ada lebih banyak pengaruh negatifnya) mungkin pada level analisis perilaku organisme yang diperkecil atau disusutkan (kalau tidak dikatakan di-reduksi-kan). Positivisme dan penemuan instrumen biologi seperti mikroskop memungkinkan menelah organisme hingga ke struktur terkecilnya, yakni sel dan molekul.[3]

Perkembangan Instrumentasi

Instrumen menjadi salah satu kunci keberhasilan mengungkap beberapa misteri otak. Teknik-teknik imunohistokimiawi telah memungkinkan para ahli menyingkap peristiwa-peristiwa kimiawi yang terjadi dalam sinapsis ketika sel saraf melakukan sesuatu. Teknik ini, yang hanya dapat diaplikasikan pada otak yang didekapitasi, dapat memberi penjelasan yang cukup signifikan tentang berbagai proses kimiawi di otak. Demikian halnya dengan teknik seperti autoradiografi,yang bisa mengecek zat kimiawi otak sebelum dia menjadi produk yang siap pakai.

Pada otak manusia hidup (living brain), teknik-teknik pemeriksaan telah cukup dapat diandalkan. Alat Positron Emission Tomography(PET), misalnya, dapat memberi informasi bagian-bagian otak yang bekerja ketika seseorang melakukan sesuatu melalui pemantauan aliran darah. Dengan alat ini para ahli dapat memantau bagian otak mana yang aktif—misalnya—ketika seseorang berdzikir, berpikiratau tafakkur, bahkan ketika sedang melakukan hubungan seks. Alat ini dapat dipakai untuk membedakan halusinasi yang terjadi pada seorang penderita schizophrenia dan seorang pengikut tarekat atau sufi. Suatu waktu nanti tidak akan terjadi penipuan-penipuan yang bertopeng agama, seperti dilakukan oleh ‘sufi-sufi’ palsu.

Instrumen terbaru dan paling canggih Magnetoencephalography(MEG) bahkan dapat menggambarkan aktivitas sel saraf pada manusia hidup. Ia dapat memantau apa yang terjadi pada sel-sel saraf pada waktu-waktu yang diperlukan. Mungkin dengan alat ini para ahli bisa memantau mekanisme seluler yang mendasari kesadaran-kesadaran spiritual seseorang. Secara teoritis, memang ada perbedaan yang signifikan antara pengalaman-pengalaman spiritual dan keadaan yang biasa[4].

Meditasi yang dilakukan oleh seorang pengikut Zen misalnya dapat direkam dengan PET dan memberikan informasi bagaimana proses fisiologi dan biokimia yang terjadi di otak selama meditasi[5].

Topik Utama

Sebagaimana biologi evolusi Darwin yang merambah banyak hal, termasuk dalam dunia politik seperti dipraktikkan Hitler tentang Ubermensh, neurosains merasuk pada hampir semua bidang kehidupan manusia.

Dikalangan neurosaintis kajian dan penelitian tentang emosi, memori dan proses belajar merupakan topik yang tidak habisnya diteliti. Penelitian tentang ini memberikan implikasi pada pemahaman patofisiologi gangguan saraf atau gangguan kejiwaan, juga farmakodinamika dan farmakokinetika obat-obatan. Penelitian-penelitian ini juga bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan manusia dalam belajar.

Topik-topik berikut sedang hangat diteliti:

  1. Neurotransmiter dan reseptor.
  2. Sel saraf dan perkembangannya.
  3. Transplantasi sel-sel saraf.
  4. Aspek genetika penyakit-penyakit tertentu, misalnya autisma, skizofrenia, Parkinson, Huntington, dll.
  5. Molekul-molekul kimia sel saraf, seperti dyinein, kinesin, dll.[6]

Untuk interdisipliner, neurosains memberikan kontribusi dalam pemahaman aspek neurobiologis hal-hal berikut:

1. Kesadaran, pikiran dan Hubungan jiwa-badan,misalnya.[7]

a. Embodiment.

b. Emosi.

c. Soscial Self

2.Sensasi, persepsi dan Pikiran (Mind)

3. Neurotheologi dan spiritualitas.[8]

Salah satu hasil revolusioner kontribusi neurosains dalam lapangan interdisipliner, yaitu konsep Spirituality Question(SQ). SQ merujuk pada faktor-faktor spiritual (bukan ritualdalam organized religion) yang memberikan kontribusi besar dalam kehidupan dan kesuksesan seseorang.

2. Implikasi

Bidang Pendidikan

Bidang pendidikan merupakan bidang yang lebih awal dipengaruhi oleh penemuan neurosains setelah bidang kedokteran. Pemahaman bagaimana memori terjadi dalam proses belajar serta kapasitas yang dimiliki otak untuk belajar menjadi topik yang luas berkembang. Sedikitnya, ada 3 konsep baru yang relevan dengan dunia pendidikan: 1) Multiple Intelligencesdari Howard Gardner, 2) Emotional Intelligencedari Daniel Golleman dan Josepf leDoux, dan 3) Spiritual Intelligencedari Danah Zohar, Ian Marshal dan Michael Pessinger.[9]

Ketiga konsep ini merambah dunia pendidikan hingga dunia bisnis yang berkaitan dengan pengembangan diri.

Bidang Kesehatandan kedokteran

Proses-proses dalam tubuh diperantarai oleh dua komponen yang saling bertaut; Hormondan Transmiter saraf(neurotransmiter). Hormon dilepas di darah dan menjangkau daerah-daerah target yang jauh. Sementara transmiter saraf dilepas dicelah sinapsis dan bekerja secara lokal. Bidang kajian Psikoneuroendokrinologimengkaji peranan hormon dan transmiter saraf ini dalam kaitannya dengan kondisi mental dan pikiran. Ilmu ini sedang berada pada aras puncak perkembangan dalam sains kedokteran sekalipun banyak kalangan kesehatan dan kedokteran yang meragukan hubungan sinergis pikiran dengan hormon dan transmiter saraf.

Kajian-kajian psikoneuroimunologi dan psikoneuroendokrinologi memberi banyak informasi dan inspirasi bagaimana proses timbulnya penyakit serta penyembuhannya.

Hubungan resiprokal antara faktor lingkungan dan ekspresi gen membuktikan adanya kaitan erat antara perilaku manusia dan perubahan-perubahan gen di otak. Intervensi pengalaman dan pendidikan, misalnya, dapat merubahan ekspresi gen pada sel saraf. Demikian sebaliknya. Ini artinya, dalam beberapa hal faktor genetika bukanlah faktor yang tidak bisa diubah. Evolusi genetika merupakan keniscayaan. Fenomena ini membuktikan kebenaran kata-kata Hazrat Inayat Khan; You are what you think.

Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa farmakoterapi bukanlah satu-satunya bahan penyembuh. Kondisi psikis, lingkungan sekitar, keyakinan diri, pemahaman agama, dll, juga memberikan kontribusi yang sangat. Penelitian penyakit kanker, AIDS, atau sekadar infeksi-infeksi ringan, mendukung pendapat ini. Dalam kasus-kasus ini otak merupakan komponen sentral yang mengatur semua itu.

3. Psikoneuroendokrinologi

Sejak ide spekulatif para filsuf Yunani hingga basis empiris oleh Sigmund Freud[10] kajian tentang hubungan jiwa-badan (Soul-Body) atau ‘Kesadaran’[11] merupakan topik yang tak pernah habis diteliti ketika membahas manusia. Rene Descartes (1596-1650) boleh jadi merupakan filsuf-matematikawan Barat yang paling banyak dirujuk ketika membahas hubungan jiwa badan ini.

Descartes menyatakan bahwa jiwa (Soul) mengontrol gerakan otot tubuh melalui komponen otak bernama Kelenjar Pineal yang terletak persis di tengah otak. Kelenjar ini berfungsi bagaikan joystickyang bila digerakkan akan menyebabkan pengaliran cairan dari kamar-kamar cairan otak (Ventricel Cerebri) ke dalam serat saraf di otot. Bagi Descartes, hubungan kelenjar Pineal dan cairan otak bagaikan pompa hidraulik. Argumentasi spekulatif inilah mungkin yang menjadi salah dasar pemikirannya yang terkenal; Cogitu ergo Sum

Selain Descartes dan Freud, hubungan Jiwa-badan atau kesadaran mendapat perhatian ahli neurosains terkenal Sir John Eccles. Perbedaannya, Descartes adalah ahli matematika yang tidak menguasai ilmu-ilmu saraf (neurosains), sementara Eccles sangat menguasainya. Level pembicaraan Descartes juga pada level sistem. Sedangkan Eccles sudah pada level seluler dan molekuler. Eccles menggunakan teori Karl Popper tentang dunia untuk menjelaskan bagaimana manusia membentuk kesadarannya tentang realitas. Eccles menyebut Outer Sense(obyek-obyek fisik), Inner Sense(kesadaran dan pengalaman subyektif),dan Pure Ego.[12]

Topik ini juga menjadi kajian menarik para filsuf-saintias muslim, seperti al-Farabi dan Ibn Sina yang mencoba menerangkan (secara filosofis) hubungan antara Sang Pencipa dengan ciptaan-Nya, melalui konsep ‘Akal bertingkat. Demikian halnya Ibn ‘Arabi Ibn ‘Arabi yang mencoba membahas hubungan jiwa-badan melalui konsepnya tentang dunia-dunia dasar (basicworlds), yang terdiri dari Spiritual world, bodily world,dan Imaginal world.Ibn ‘Arabi dan hampir seluruh pemikir muslim menggunakan konsep 3 dunia ini untuk menjelaskan mikrokosmos manusia.[13]

Dengan berkembangnya disilplin ilmu baru psikoneuroendokrinologi[14](kadang juga dipadukan dengan psikoneuroimunoendokrinologiuntuk melihat kaitannya dengan penyembuhan penyakit) kaitan antara jiwa-badan makin terbuka lebar dan memperoleh bukti eksperimental yang kuat. Terdapat bukti kuat bahwa hubungan Jiwa-badan itu bersifat organo-biologik (jadi, tidak semata hubungan spekulatif seperti misalnya pendapat al-Ghazali tentang Qolbdi dada sebelah kiri, yang menunjuk jantung). Sifat organobiologik ini memungkinkan penjelasan yang lebih tepat tentang bagaimanajiwa-badan itu berhubungan, dan bagaimana otak membangun kesadaran (baik awakemaupun aware) dalam diri manusia.

Kaitan komponen otak bernama Hypothalamus-Pituitary-Adrenal yang dikenal dengan istilah HPA Axis menjadi dasar penjelasan organobiologik itu. Keadaan-keadaan sehat dan sadar, maupun gangguan neuropsikiatris (seperti schizophrenia, majnun) merupakan hasil hubungan timbal balik HPA axis melalui kerja hormon, neurotransmitter dan gen. Salah satu teori neurosains misalnya menjelaskan bahwa schizophrenia disebabkan oleh gangguan biologis dalam 5 faktor resiko, mulai dari gangguan enzim yang mengatur pembentukan dan pelepasan neurotransmiter (faktor resiko 1), migrasi sel saraf yang terlampau jauh (faktor resiko 2), pembentukan sinapsis yang keliru (faktor resiko 3), dan kerja sel saraf yang terganggu (faktor resiko 4 dan 5).[15] Untuk keadaan normal, seperti pengaturan memori dan bahasa, banyak faktor-faktor biologis yang terlibat.

Pada tingkat molekuler, yakni ekspresi-ekspresi gen, terdapat hubungan erat secara timbal balik antara lingkungan, pendidikan, pengalaman hidup dan berbagai intervensi sengaja dengan pembentukan protein tertentu oleh gen. Demikian sebaliknya.[16] Dengan kata lain, intervensi atau perilaku-perilaku tertentu yang kita lakukan dapatmerubah ekspresi gen. Dari sudut ini ritual-ritual agama, seperti sholat, puasa, haji, atau perilaku tertentu seperti tafakkur, mendapat penjelasan ilmiah. Ritual-ritual Ini potensialmerubah plastisitas sel-sel saraf melalui pengaturan ekspresi gen. 

4. Al-Qur’an dan Neurosains

Kaitan Neurosains dan al-Qur’an dapat dilihat dari 3 aspek:

  1. Sinyal al-Qur’an tentang otak dan fungsi-fungsinya.
  2. Entitas psikis manusia.
  3. Kehadiran’ Allah dalam diri manusia.

Sinyal al-Qur’an

Sinyalemen al-Qur’an ini dapat disebut sebagai mukjizat al-Qur’an tentang berita-berita ilmiah. Beberapa contoh; 1) jari dan tangan, 2) pendengaran dan penglihatan, dan 3) bahasa dan memori. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengulas tentang 3 hal ini mendapat pembuktian secara ilmiah oleh neurosains. Fungsi membuat simbol yang menjadi ciri khas manusia ditunjukkan dengan penemuan gen dan daerah pengatur bahasa yang hanya ada pada otak manusia. Kegiatan berbicara (bayan), yang menjadi milik sepenuhnya manusia, juga ditata oleh daerah spesifik di otak. Area Broca dan area Wernicke berada secara spesifik pada otak manusia.

3 hal diatas merupakan fungsi kulit otak (Cortex cerebri). Kulit otak merupakan bagian otak manusia yang paling pesat perkembangannya dalam evolusi spesies manusia.[17]

Entitas psikis manusia

“Tema pokok al-Qur’an adalah manusia dan kemanusiaan”, kata Ali Syariati. Ayat-ayat al-Qur’an memiliki tema-tema pokok yang sebagian besarnya berkaitan dengan manusia. Salah satu tema adalah aspek-aspek kejiwaan manusia yang ditunjukkan melalui diksi, seperti Ruh, Nafs, ‘aql,dan Qolb(dan masih banyak lagi). Pendekatan neurosains menjadi penting karena menjelaskan bagaimana kegiatan mental manusia terjadi. Bukti-bukti empirik dari orang sakit maupun sehat menunjukkan bahwa kegiatan mental dapat terjadi dengan baik jika otak berfungsi dengan baik. [18]

Jika diperhatikan objek-objek yang ditunjukkan oleh diksi al-Qur’an di atas akan tampak jelas bahwa semua kegiatan itu berkaitan dengan fungsi otak manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak mungkin memisahkan penjelasan tentang diksi al-Qur’an dengan penjelasan tentang bagaimana otak berfungsi.[19]

Selain itu, pengetahuan neurosains menjadi penting terutama dalam upaya pengobatan atau penumbuhan jiwa (Tazkiyatun Nafs,dalam istilah tasawuf, atau Process of becomingdalam istilah psikologi Humanistik). Penyakit manusia moderen terutama berkaitan dengan aspek mental dan kepribadiaannya. Teknologi kedokteran hampir mencapai kesempurnaan dalam pengobatan gangguan fisik manusia, apalagi setelah gen manusia dapat dipetakan hingga 99 persen. Namun, gangguan-gangguan pada psikisnya belum dapat ditangani sepenuhnya.

Allah ‘dalam’ otak manusia

Mungkinkah manusia mengenali Tuhan dengan baik jika ia mengalami kerusakan otak? Ukuran-ukuran apakah yang dipakai untuk menyatakan seseorang beriman? Mungkinkah ia melakukan amal saleh jika ia mengalami gangguan otak yang parah?

Spiritual Worldmanusia tidak akan pernah ada jika bodily World-nya, dalam hal ini otaknya—mengalami kerusakan. Tuhan tidak akan pernah ada[20]jika seorang manusia kehilangan bodily World(otak) nya. Karena urusan Tuhan dan segala implikasi amal (perbuatan) berkait erat dengan pikiran manusia tentang Tuhan, termasuk di sini resepsi dan memori tentang Tuhan.[21]

Kehadiran Allah—menurut al-Qur’an—merupakan kepastian dalam diri manusia. Mau tidak mau, tolak atau terima, Allah merupakan ‘entitas’ yang ada dalam diri manusia. Manusia tidak mungkin memisahkan diri dari Allah. Karena itu, dalam al-Qur’an tidak dikenal konsep atheisdalam maknanya menolak, meniadakan atau tidak percaya Tuhan.

Karen Amstrong berpendapat bahwa realitas Tuhan merupakan hasil konstruksi pikiran manusia. Karena itu, sepanjang perjalanan hidup spesies manusia, realitas Tuhan senantiasa berubah mengikuti perkembangan pemikiran manusia. Pikiran manusia menentukan realitas Tuhan. Dengan kata lain, persepsi manusia dipandang faktor determinan dalam mengkonstruksi Tuhan. Saya sebut ini Mind Concept of God. Tidak saja itu, realitas Tuhan, baik dalam pengertian Zat-Nya atau Sifat-sifat-Nya dikonstruksi juga oleh otak manusia. Bagi penderita Schizophrenia, tumor otak berat, penderita Autisme atau gangguan otak berat lainnya, Tuhan menjadi realitas yang meragukan bahkan boleh dikatakan tidak ada. Saya sebut ini Brain Concept of God.Dengan kata lain, kehadiran Tuhan berkaitan dengan Brain-Mind Concept.[22]

Wassalam. Allah jua yang Maha Tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun