Tak ada gading yang tak retak. Begitulah istilah yang menggambarkan bahwa tidak ada kesempurnaan di muka bumi ini. Termasuk pada manusia. Manusia bisa salah kapanpun dan di manapun. Termasuk di ruang kerjanya.
Walaun kesalahan dan kekhilafan tersebut adalah fitrahnya manusia, bukan berarti diabaikan begitu saja. Harus ada yang mengingatkan, menegur dan meluruskan.
Dalam dunia kerja, yang paling bertanggungjawab mengingatkan adalah pimpinan dari perusahaan atau organisasi tersebut. Namun menurut saya, sebagian pimpinan luput dalam etika menegur atau menasehati anggota atau karyawannya.
Ketika menemukan kesalahan anggotanya, pimpinan langsung menegur di depan rekan-rekannya, di tempat keramaian. Diperparah dengan bahasa yang kasar. Saya menduga niatnya baik, namun akhirnya malah berdampak tidak baik.
Setiap diberi amanah memimpin sebuah organisasi, saya selalu teringat dengan nasehat Imam Syafii dalam nasehat-menasehati. Imam Syafii mengingatkan kita bahwa menasehati di depan umum sama saja dengan melempar kotoran ke wajah orang yang kita nasehati.
Siapa yang rela wajahnya dilempari kotoran? Jangankan kotoran sapi atau manusia, upilpun pasti tak rela. Bisa kesal lalu berujung amarah.
Menasehati atau menegur anggota organisasi kita memerlukan communication skill yang mumpuni. Menurut teori komunikasi Harold Lasswell ada lima unsur dalam proses komunikasi, yaitu komunikator/pemberi, pesan, media/cara, komunikan/penerima, dan efek. Untuk mencapai komunikasi yang efektif semua unsur itu harus berfungsi dengan baik.
Kembali dalam hal menegur tadi, anggaplah pesan yang disampaikan sudah benar. Namun melalui media atau cara yang salah. Hal tersebut akan mengakibatkan kekesalan atau ketidaksiapan komunikan dalam menerima pesan tersebut. Maka pesan itu tidak akan pernah sampai dengan baik ke komunikan.
Tujuan pimpinan menegur adalah agar ada perubahan ke arah yang positif. Dan itu tidak akan terjadi dengan cara mempermalukan. Sifat dasar manusia itu adalah defensif. Jika "diserang" terang-terangan ia akan otomatis melakukan perlawanan. Baik perlawanan secara fisik maupun secara mental (mental blocking).
Walaupun dalam beberapa kasus akan ada perubahan setelah ditegur (dipermalukan), namun itu hanya dilakukan karena terpaksa dan tidak akan bertahan lama.
Anggota atau karyawan hanya akan bekerja karena dimarahi. Hanya fisiknya yang diberikan. Sedangkan hati dan pikirannya akan terus membantah. Dan ini akan berujung pada menurunnya produktivitas organisasi atau perusahaan.
Saran sederhana saya, utamakan menegur atau menasehati secara personal. Selain bisa membangun keakraban, pesan bisa disampaikan lebih dalam detil. Bisa pula terjadi percakapan.
Anggota atau karyawan bisa jadi lebih terbuka memberikan pendapatnya. Caranya, kita bisa memanggil mereka ke ruangan. Atau mungkin ketemu di pantry atau mushalla. Nasehatilah dengan sebaik-baik cara dan sebaik-baik kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H