Menikah adalah cara melajutkan estafet keberadaan di dunia, sekaligus juga manifestasi perlindungan manusia dari kehinaan tanpa ikatan (Free Sex). Siapapun jika umurnya sudah pantas dan matang, maka menikah jadi suatu kebutuhan tak bisa ditawar. Apalagi jika telah mengalami kedewasaan biologis melampaui usianya. Terlepas dari itu, menikah sebenarnya adalah hal yang sederhana berikut syarat beserta rukunnya.
Namun kadang “bungkusan budaya” pada setiap daerah di Indonesia mengakibatkan masalah jadi relatif kompleks. Yang dikhawatirkan kemudian adalah kealpaan kita terhadap esesnsi pernikahan yaitu penyatuan niat baik, sehingga pelurusan demi pelurusan tentangnya harus terus digalakkan. Mengingat manusia adalah makhluk kealpaan, begitu pula meluruskan presepsi tentang uang Panai’ yang ada di Sulawesi Selatan (Sulsel). Uang Panai’ selalu menarik untuk didiskusikan apalagi sudah ditelisik lebih mendalam. Kalau istilah anak muda “tak kenal, maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta”. Mari berkenalan.
Tentu ketika ingin mengetahui sesuatu, maka informasi rinci harus dikumpulkan. sebab apa yang ingin kita ketahui harus bersifat komperhensif, tak cacat data dan pada akhirnya kita tak salah mengambil sikap. Tak sekadar jua dari mulut ke mulut, namun literatur-literatur mendukung. Mari berkaca pada sejarahnya. Toh Proklamator mewanti dalam Jas Merah nya. Indonesia sebagai Negara maritim sangat dimanfaatkan baik oleh suku Bugis-Makassar. Mereka terkenal sebagai pelaut ulung membelah samudera luas mencari rezeki. Perantau ulang yang memegang erat filosofi hidupnya Siri na Pacce atau sirri na pesse (Malu & Empati).
Ditilik dari beberapa sumber Uang Panai’ punya definisi yakni sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai laki kepada calon mempelai wanita sebagai sebuah penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata sosial. Bagi Laki lokal atau yang juga berasal dari Suku Bugis-Makassar. Memenuhi jumlah Uang Panai' dipandang sebagai budaya siri'. Berdasar sumber sejarahnya Uang Panai’ muncul karena apa yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda dulu. Belanda seenaknya menikahi Wanita Bugis-Makassar yang ia inginkan, setelah menikah ia kembali menikahi Wanita lain dan meninggalkan istrinya, karena melihat wanita yang lebih cantik dari istrinya.
Walhasil, budaya itu mengeras dan banyak merugikan wanita dan mendorong para lelaki pribumi untuk bebas menikah, lalu seenak hatinya meninggalkan istrinya pula. Kerugian itu nyatanya sampai batasnya, seorang lelaki mencoba menikahi seorang wanita dari keluarga terpandang. Tentu ini bak hinaan bagi keluarga wanita karena tak sekufu (sederajat) dan menggangap lelaki tersebut berkelakar. Ini juga berdasar kekhawatiran pihak wanita akan diperlakukan sama dengan lelaki Belanda. Maka untuk pembuktian keseriusan lelaki tersebut, pihak wanita menyisaratkan mahar material dan non material yang telah ditentukan tanpa memandang keadaan lelaki. Meski berat lelaki namun ia berhasil mengumpulkan selama bertahun dan melamar gadisnya.
Apa yang jadi pelajaran? Pertama, Bahwa wanita itu “Mahal” untuk disakiti, kodratnya sebagai tulang rusuk mesti diperlakukan secara lembut dan santun. Kedua, mengelimir angka perceraian karena tingginya uang Panai’ sehingga lelaki akan berpikir dan menimbang banyak hal sebelum memutuskan untuk bercerai meski kini hal ini nyatanya tak banyak mengurangi tingkat perceraian di Sulsel. Ketiga, bagi laki ini tentu hal yang memberatkan, namun satu sisi pula sebagai pertaruhan harga dirinya bahwa ia serius hendak melamar wanita Bugis-Makassar. Bagi wanita, Ini merupakan bukti bahwa lelaki itu bisa diandalkan karna Uang Panai’ yang kadang membikin kepala geleng-geleng.
Terlepas dari itu semua kembali lagi kepada masing-masing pihak mau duduk tudung sipulung (berdiskusi) prahara Uang Panai’ dan saling meredam ego. Sebab kekiniaan Uang Panai’ selain dianggap Siri’ pula turut ada pertaruhan rasa “gengsi”. Makin tinggi pendidikan anak Wanita berbanding lurus dengan Uang Panai’ nya. Malah terkadang jika mempelai laki ‘ngotot’ nikah sedang pihak Wanita menolak dengan halus, maka berapapun UangPanai’ yang diminta pihak laki akan menyanggupi terlepas dari beragam status sosialnya.
Padahal esensinya sebenarnya “Pembuktian” bukan malah menyusahkan dan demi rasa itu yang pada akhrinya saling meninggikan prestise. Penyimpangan inilah yang mesti ditumpas, kemiringan inilah yang harus segera diluruskan. Agar Silariang tak banyak lagi terjadi sebab jika ini terjadi maka siriharus ditegakkan dan dahulu tak jarang kedua pelakunya harus dibunuh.
Begitupun korban gagal nikah karena prahara ini, sudah lebih dari hitungan jari. Sebutlah Risna seorang mahasiswi asal Kabupaten Bulukumba ini viral karena tak jadi menikah dengan lelaki yang dipacarinya selama 7 tahun. Sebutlah lakinya adalah Rais. Rais dan keluarganya sudah dua kali bermaksud melamarnya. Namun setiap keluarga lelaki yang dipacarinya sejak tujuh tahun lalu itu datang melamar, tidak terjadi kesepakatan soal uangpanai.Hingga kisahnya diunggah ke Medsos sebab gadis ini menghadiri pernikahan Rais.
Bagi mereka yang silariang (Kawin lari), kita dapat memandang bahwa mereka adalah orang yang tak serius merajut pernikahan. Mereka tak memandang bahwa pernikahan itu penuh perhitungan, penuh tanggungjawab dan penuh kesabaran. Wanita sabar untuk dilamar dan laki sabar mengumpulkan uang untuk datang melamar. Ini semua demi pembelajaran tentang nilai tanggung jawab pra-menikah.
Beda Uang Panai’ dan Mahar.