Hari ini aku bergembira. Aku sedang di kantor dan sedang membuka akun emailku. Tiba-tiba, Mas Andi Arsana, dosen UGM yang sedang merampungkan PhD-nya di University of Wollongong Australia, seorang yang tulus memberikan semangat dan dukungan untuk menggapai sukses, baru saja mengirim sebuah email. Beliau menawariku untuk mengirimkan tulisan pengalaman perjuangan hidupku hingga akhirnya aku berhasil memperoleh beasiswa luar negeri. Beliau sampaikan juga bahwa tulisan tersebut akan dimuat di dalam sebuah buku bersama dengan tulisan dari kontributor lain dan akan didistribusikan untuk memotivasi masyarakat Indonesia.
Aku senang dan aku bahagia. Aku ingin kelompok masyarakat yang diberikan ujian hidup sama sepertiku dapat segera bangkit dari keterpurukan dan kembali menapaki anak tangga kesuksesan. Aku ingin masyarakat yang tidak mengalami ujian hidup yang aku alami dapat membantu memperluas penyebaran informasi ini dan memiliki sikap yang lebih positif dan membangun terhadap kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus. Aku segera membalas emailnya dan mulai mengingat-ingat lembaran-lembaran perjuangan hidupku yang pelik dan penuh dengan air mata hingga akhirnya aku berhasil memenangkan delapan beasiswa luar negeri. Aku mulai kisahku dengan masa-masa paling sulit dalam hidupku.
Tiga tahun telah berlalu. Makin hari aku makin gila. Beberapa kali menjalani operasi menyambungkan syaraf mata dan menjahit retina tak juga membuahkan hasil. Beraneka ragam pengobatan alternatif dari berbagai negara tak juga mengembalikan penglihatanku. Setiap hari aku mencoba menghibur diri. Aku berpura-pura melakukan rutinitasku sebelum penglihatanku hilang. Aku bangun pagi, mandi, sholat subuh, mengenakan seragam sekolah, memakai sepatu, mencium tangan kedua orangtuaku untuk pamit ke sekolah. Namun, aku melangkah ke depan rumah dan masuk ke kamar dan menghambur ke atas ranjang dengan banjir air mata. Tiap malam aku tak bisa memejamkan mata. Aku berbicara sendiri seolah-olah sedang konsultasi dengan banyak ahli mata. Aku terpisah dengan dunia luar dan terpuruk. Aku terputus dengan sorak-sorai kegembiraan masa remaja. Hari-hari terasa berlalu begitu lambat. Aku sesak, aku frustrasi, aku ingin bisa melihat lagi, aku ingin bersekolah lagi.
Kedua orang tuaku pun ikut mengalami depresi, terutama ayahku. Setiap hari beliau pulang mengajar, tatapannya kosong. Beliau masuk kamar, berbaring, dan termenung memandang langit-langit rumah. Beliau terus membuka matanya dan tak bergeming hingga adzan Isya berkumandang. Beliau tertekan, beliau ditempa ujian hidup yang pelik. Anak bungsunya tak bisa melihat lagi. Pinjaman Bank DKI untuk biaya kuliah kedua kakakku di UI habis untuk membiayai pengobatanku. Aku tak juga sembuh. Kedua kakakku butuh biaya. Ayah tak mampu membayar cicilan hutang bank dan beliau masih harus mencari uang untuk kuliah dan biaya hidup kedua kakakku yang tinggal di dekat kampus. Ayahku tertekan.
Keceriaan ibuku tercinta pun seperti sirna lenyap begitu saja. Beliau sering terlihat murung. Beliau sering membisu, tak banyak berkata-kata. Isakan tangis dari kerongkongannya terdengar tiap kali beliau sholat. Linangan air mata beliau selalu membasahi mukena dan sajadahnya. Beliau belum sanggup menerima kenyataan bahwa anak bungsunya harus menjalani sisa kehidupannya tanpa penglihatan. Beliau belum yakin aku akan sanggup dengan ujian hidup seperti ini. Namun beliau berusaha untuk tetap tegar. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, beliau mengurusku, mengantarku menjalani berbagai pengobatan dan terus menyemangatiku untuk terus berdoa agar aku sembuh.
Hampir setiap detik aku menyaksikan kedua orang tuaku dirundung pedih tak berkesudahan. Aku kumpulkan semangat. Aku bangun mimpi. Aku satukan kembali cita-citaku yang telah sirna. Aku mencoba bangkit. Aku tak ingin terus terpuruk. Namun, aku dan kedua orang tuaku tak tahu harus berbuat apa. Aku kembali terkulai. Aku ambruk, aku terpuruk di dalam ruang gelap.
Cahaya kehidupanku mulai menyala ketika aku dan kedua orang tuaku mendengar informasi dari seorang ibu yang sedang rawat jalan di bagian mata RSCM. Ibu ini bercerita bahwa keponakannya adalah seorang tunanetra. Dan dia berkuliah di UNPAD. Dia juga bisa memanfaatkan teknologi. Seketika itu pipiku terasa hangat dilalui butiran air mata yang jatuh dari sudut kedua mataku. Aku bersyukur. Aku bahagia karena aku merasa Allah tidak pernah melupakanku. Kedua mata ibu dan ayahku juga berkaca-kaca. Mereka bersyukur karena akhirnya ada jalan terang untuk anak bungsunya kembali memulai lembaran hidup baru dengan semangat baru.
Di tahun ke empat, kedua orangtuaku berupaya untuk menyekolahkanku kembali. Atas saran dari Yayasan Mitra Netra, mereka membawaku ke Tan Miyat, sebuah asrama tunanetra di komplek Departemen Sosial dekat Bulak Kapal Bekasi Timur. Karena asrama ini hanya memiliki SD, SMP dan sekolah keterampilan pijat, mereka mendaftarkan aku ke SMA YPI 45 Bekasi untuk melanjutkan sekolahku yang sempat terputus selama beberapa tahun. SMA YPI 45 telah secara rutin menjadi sekolah inklusi yang sangat ramah terhadap tunanetra. Aku diterima dengan baik dan cukup diperhatikan. Aku tinggal di asrama Tan Miyat tetapi aku bersekolah berintegrasi dengan siswa berpenglihatan normal di SMA YPI 45 di luar asrama. Lalu, aku belajar Braille, menyelami kehidupan baru dengan status baru sebagai seorang tunanetra dan menimba ilmu serta belajar nilai-nilai kehidupan yang tidak kurasakan sewaktu masih melihat.
Aku sungguh-sungguh membangun mimpi-mimpi besar. Aku yakin mimpi yang akan menentukan masa depanku. Jika aku hanya bermimpi untuk menjadi seorang pemijat, maka aku pun akan menjadi seorang pemijat. Aku hanya kan berusaha untuk mendalami ilmu pijat dan bahkan mungkin aku hanya kan berdoa untuk mendapatkan pasien banyak tiap hari dan memberikan uang tips yang lumayan. Aku tidak puas. Aku ingin melihat kedua orangtuaku bangga. Aku ingin menyaksikan kedua orangtuaku bercerita dengan bangga kepada orang lain tentang prestasi-prestasiku. Aku ingin hari-hari frustrasi mereka selama beberapa tahun terbayar dengan rasa bangga dan kebahagiaan. Aku ingin air mata pedih mereka terbayar dengan air mata syukur dan bahagia.
Di hari pertama aku melangkahkan kaki memasuki asrama Tan Miyat bersama kedua orangtuaku, aku putuskan untuk membunyikan mimpi besarku.
“Bu, Taufiq pengin keliling dunia” kataku singkat dan tegas kepada ibuku. Ibu kaget bagai disengat serangga berbahaya. Ibu tersentak. Setelah beberapa saat, beliau menjawab, “Baru mulai bisa sekolah lagi udah kepengin yang macem-macem. Kalo punya mimpi gak usah terlalu tinggi, takut stress.”