Zaman sekarang rasanya kok makin berat ya? Harga-harga naik, cari kerjaan oke susah, mikirin cicilan bikin pusing. Nggak heran deh kalau kita-kita ini, apalagi yang masih muda, jadi sering galau soal duit dan masa depan. Nah, di tengah kegalauan itu, sering banget nih muncul celetukan di medsos atau pas ngobrol: "In this economy, menikah adalah solusi."
Kedengerannya simpel ya? Kayak jalan pintas gitu. Mungkin mikirnya, kalau udah nikah, beban hidup dibagi dua, ada teman seperjuangan, urusan finansial jadi lebih enteng. Tapi... beneran segampang itu? Yakin menikah otomatis jadi jawaban buat masalah ekonomi? Atau jangan-jangan malah bikin kantong makin jebol?
Penasaran juga sih sama statement ini. Kok bisa ya, urusan sakral kayak pernikahan malah jadi kayak strategi ekonomi? Yuk, kita coba kupas bareng, lihat dari plus minusnya, biar nggak cuma ikut-ikutan tren.
Kenapa Sih Banyak yang Mikir Nikah Jadi Jawaban Ekonomi?
Kok bisa ya ungkapan ini jadi rame? Kayaknya sih, ini cerminan dari rasa cemas kita sama kondisi ekonomi sekarang. Inflasi bikin daya beli turun, persaingan kerja ketat. Wajar kalau banyak yang cari cara biar bisa survive atau merasa lebih aman finansialnya. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) pun, tekanan biaya hidup memang terasa meningkat belakangan ini.
Dalam situasi begini, gambaran ideal pernikahan – dua orang saling dukung, berbagi beban – jadi kelihatan menggiurkan. Mungkin ada harapan kalau udah nikah, biaya hidup bisa patungan, pemasukan bisa dobel kalau sama-sama kerja, dan ada teman diskusi soal duit. Kedengarannya bagus di atas kertas, tapi apakah realitanya selalu begitu?
Gimana Pernikahan Katanya Bisa Bantu Ekonomi?
Oke, kita lihat dulu sisi manisnya. Kenapa ada yang percaya menikah bisa bantu urusan finansial?
Hemat Bareng: Realita atau Cuma Angan-angan?
Ini alasan paling klasik. Kalau tadinya ngekos sendiri-sendiri, sekarang bisa ngontrak satu rumah bareng. Tagihan listrik, internet, air, bisa dibagi dua. Masak di rumah juga katanya lebih irit daripada jajan terus. Ini namanya economies of scale dalam rumah tangga. Memang ada potensi penghematan biaya per orang ketika hidup bersama, terutama buat biaya tetap kayak sewa dan utilitas.
Tapi ya, ini nggak otomatis. Kalau setelah nikah malah gaya hidup makin boros, ya potensi hematnya hilang. Kuncinya tetap di pengelolaan bareng.
Punya 'Teman Seperjuangan': Efek Dukungan Pasangan ke Kantong
Jangan anggap remeh kekuatan mental lho! Hadapi tekanan ekonomi itu bikin stres. Punya pasangan yang suportif, bisa jadi tempat curhat dan saling semangati itu 'obat kuat' mental yang luar biasa. Mengacu pada riset psikologi, dukungan sosial dari pasangan memang bisa nurunin stres dan bantu kita ambil keputusan finansial yang lebih baik. Kalau mental lebih sehat, semangat cari cuan juga bisa lebih membara, kan?
Dukungan ini memang nggak langsung nambahin duit di rekening, tapi dampaknya ke kondisi finansial bisa kerasa banget secara nggak langsung.
Dua Gaji Jadi Satu: Kekuatan Finansial Berlipat?
Ini juga potensi yang menarik, apalagi kalau suami istri sama-sama kerja. Dual income household jelas bikin total pemasukan keluarga lebih besar. Ini bisa buka peluang buat nabung lebih banyak, investasi lebih gede, atau capai tujuan finansial kayak beli rumah jadi lebih cepat. Plus, ada buffer kalau amit-amit salah satu kena PHK.
Tentu, ini dengan catatan kalau kedua penghasilan dikelola bareng dengan baik dan transparan ya.
Eits, Jangan Senang Dulu! Sisi Gelap Finansial Pernikahan yang Mesti Diwaspadai
Nah, sekarang mari kita balik medalinya. Kenapa anggapan menikah sebagai 'solusi' ekonomi itu bisa bahaya dan malah bikin pusing tujuh keliling?
Biaya Nikah dan Hidup Setelahnya: Siap Nggak Sama 'Boncos'-nya?
Pertama, jangan lupa modal buat nikahnya itu sendiri. Di sini, nikah seringkali jadi hajatan besar yang nguras tabungan, bahkan bikin utang. Dikutip dari berbagai laporan media, biaya nikah di kota besar itu nggak main-main, bisa puluhan sampai ratusan juta! Belum apa-apa udah mulai dengan minus.
Setelah pesta, pengeluaran justru seringkali nambah. Mungkin ada cicilan KPR, persiapan punya anak (yang biayanya juga nggak sedikit dari hamil sampai gede), biaya pendidikan, belum lagi kalau ada lifestyle inflation alias gaya hidup makin naik setelah nikah. Kalau nggak diantisipasi dan dikelola bener, kondisi finansial malah bisa lebih berat daripada pas single.
Saat Isi Dompet Nggak Sejalan: Risiko Ribut Gara-gara Uang
Ini nih, biang kerok pertengkaran rumah tangga paling umum: DUIT. Bayangin, kamu super hemat, pasanganmu hobi belanja online. Kamu nabung mati-matian buat DP rumah, dia pengennya healing tiap bulan. Atau, salah satu bawa utang dari masa lalu tapi nggak jujur. Waduh!
Perbedaan kebiasaan, prioritas, dan kondisi finansial bawaan ini kalau nggak dikomunikasikan secara terbuka dari awal, bisa jadi bom waktu. Menurut pendapat saya, ini risiko terbesar kalau motivasi nikahnya cuma 'biar aman'. Bukannya aman, malah bisa stres tiap hari gara-gara debat soal anggaran. Nggak jarang lho, masalah uang ini jadi pemicu perceraian.
Menikah ≠ Mesin ATM: Bahaya Kalau Motivasi Utamanya Cuma Duit
Penting banget nih diingat! Menikah itu komitmen jangka panjang soal perasaan, emosi, saling pengertian, bukan sekadar transaksi ekonomi. Masuk ke pernikahan dengan mindset utama "ini solusi finansial gue" itu bahaya. Kenapa?
- Nggak adil buat pasangan: Masa dia cuma dianggap alat perbaikan ekonomi?
- Fondasi rapuh: Kalau kondisi ekonomi pasangan nggak sesuai harapan, atau ada badai finansial, gimana? Hubungan bisa goyah.
- Risiko masalah lain: Bisa muncul kontrol finansial berlebihan dari satu pihak (financial abuse), ketergantungan finansial yang bikin rentan, atau masalah utang tersembunyi yang tiba-tiba meledak.
Pernikahan yang sehat itu basisnya cinta, hormat, percaya, dan tujuan sejalan. Finansial itu penting, tapi sebagai pendukung, bukan fondasi utama. Salah motivasi dari awal, kemungkinan besar malah bikin luka batin.
Jadi, Kuncinya Sebenarnya Bukan di Status 'Menikah'-nya, Tapi...
Dari plus minus tadi, kelihatan kan kalau status 'menikah' itu sendiri bukan jaminan apa-apa buat kondisi finansial. Ada hal lain yang jauh lebih penting, berlaku buat semua, mau single atau udah berpasangan.
Melek Finansial: Wajib Hukumnya, Mau Single atau Sudah Sah!
Ini nomor satu! Mau statusmu apa aja, melek finansial itu harga mati. Kamu harus tahu gimana caranya bikin anggaran, bedain butuh & ingin, kelola utang, mulai nabung & investasi, dan paham produk keuangan. Dilansir dari OJK dan banyak pakar, literasi keuangan kita masih perlu ditingkatkan. Banyak masalah duit muncul bukan karena kurang penghasilan, tapi karena nggak bisa ngaturnya.
Jadi, sebelum mikir nikah jadi solusi, tanya dulu: "Udah bisa ngatur duit sendiri belum?". Kalau belum, ya itu PR utamanya. Belajar finansial itu investasi penting buat diri sendiri.
Pentingnya 'Meja Hijau' Keuangan: Komunikasi Terbuka Soal Duit Sama Pasangan
Kalau udah serius mau nikah, komunikasi terbuka soal uang itu krusial banget. Sering dianggap tabu, padahal ini kunci biar nggak konflik nanti. Duduk bareng, bahas jujur soal kondisi finansial masing-masing, kebiasaan belanja, tujuan bareng, dan gimana mau kelola uang nanti. Mengacu pada saran para perencana keuangan, 'money talk' rutin ini bisa cegah banyak masalah. Ini bukan soal nggak percaya, tapi soal bangun transparansi dan kerja sama tim.
Tanpa komunikasi bagus, potensi sinergi finansial tadi bisa ambyar.
Menikah di Tengah Gempuran Ekonomi, Antara Peluang dan Jebakan
Jadi, pendapat saya pribadi gimana? Menikah bisa jadi solusi ekonomi "in this economy"? Jawaban saya: tergantung banget. Bukan sulap, bukan sihir. Malah bisa jadi masalah baru kalau nggak hati-hati.
Menurut saya, pernikahan bisa jadi support system finansial yang kuat, TAPI ada syaratnya:
- Fondasi Hubungan Kuat: Dasarnya cinta, hormat, percaya, visi sejalan. Bukan motif ekonomi semata.
- Kesiapan Diri: Masing-masing udah punya dasar melek finansial sebelum nikah. Jangan ngarep pasangan jadi 'penyelamat'.
- Komunikasi Lancar: Bisa ngobrolin duit secara dewasa, tanpa drama.
- Kerja Sama Tim: Kelola keuangan itu bareng-bareng, ada kesepakatan yang adil.
- Realistis: Siap hadapi tantangan finansial bareng, bukan cuma bayangin enaknya.
Kalau syarat ini nggak ada, menurut pendapat saya, nikah di tengah ekonomi sulit malah bisa jadi jebakan. Beban nambah, konflik membesar, stres berlipat.
Jadi, jangan jadikan pernikahan 'jalan pintas' ekonomi. Fokus dulu perbaiki diri, tingkatkan literasi finansialmu. Kalaupun ketemu jodoh, bangun hubungan yang sehat. Urusan finansial bakal lebih mudah dihadapi kalau fondasinya kuat.
Jadi, Menikah Itu Solusi Ekonomi atau Bukan?
Kesimpulannya gimana? "In this economy, menikah adalah solusi"? Kayaknya jawabannya nggak hitam putih.
Pernikahan punya potensi bantu finansial, tapi juga punya risiko besar kalau salah langkah atau salah motivasi. Status 'menikah' itu sendiri bukan penentu utama. Yang lebih penting adalah literasi finansialmu, kemampuan komunikasimu (kalau berpasangan), kerja kerasmu, dan fondasi hubunganmu (kalau menikah).
Jadi, kalau kamu lagi galau ekonomi terus kepikiran nikah sebagai solusi, coba deh tarik napas dulu. Renungkan:
- Udah bisa ngatur duit sendiri?
- Motivasinya beneran cinta atau cuma tekanan ekonomi?
- Udah bisa ngobrol terbuka soal uang sama (calon) pasangan?
Menikah itu keputusan besar. Jangan diambil karena latah atau panik soal duit. Persiapkan dirimu sebaik mungkin di semua aspek. Karena solusi terbaik masalah ekonomi seringkali datang dari dalam diri kita sendiri.
Gimana menurutmu? Punya pandangan lain? Yuk, diskusi di komentar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI