Mohon tunggu...
Mochammad Taufiqurrochman
Mochammad Taufiqurrochman Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sastra Arab

Penuhi hidupmu dengan Zikrullah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Perkembangan Syair Ashr Jahili (Syair Zaman Jahiliyah)

23 Juni 2020   20:06 Diperbarui: 4 Mei 2022   05:24 15126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Mochammad Taufiqurrochman Azmatkhan AlHusainy

 (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Syair Ashr Jahili, seperti namanya, syair ini berkembang dan menjadi tradisi pada zaman jahili, sekitar 200/150 tahun secara turun-temurun sebelum Islam turun di tanah Arab, jadi semua bentuk syair yang tercatat sebelum Islam disebut syair Jahili. Kenapa cuma dari 200/150 tahun? Kenapa tidak dari zaman Nabi Isa atau Nabi-nabi sebelumnya?

Karena setelah diteliti syair tertua yang sempat tercatat tidak ada yang lebih tua dari 200 tahun sebelum Islam, Beberapa ratus tahun sebelum munculnya Islam, kemungkinan sudah ada syair, tapi tidak sempat tercatat oleh sejarawan Arab. Jauh sebelum diturunkan nya Al-Qur'an, dunia sastra syair bangsa Arab sudah menjadi sebuah peradaban dan warisan kebudayaan tertinggi pada masanya. 

Gubahan syair dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, pengagungan berlebihan pada syair sehingga kedudukan syair jahili dalam kehidupan bangsa Arab memiliki pegangan peranan yang fundamental. Syair laksana sihir yang mampu melahirkan kekuatan sampai-sampai lahirlah semboyan asy-syi'ru diwanul arab (puisi adalah rumah bagi bangsa Arab).

Baca juga: "Wate Ka Saho", Syair Kreatif ala Pemuda Aceh Bangunkan Warga Saat Sahur Tiba

Syair zaman Jahili sangat memiliki kekuatan yang magis dalam psikologis mereka, sering digunakan untuk mengobarkan semangat juang di masa perang, orasi suatu kelompok, tetapi sekaligus dapat menciptakan perdamaian tatkala ada dua pihak yang bertikai. Semua tervisualisasi dalam syair yang mereka utarakan. 

Dalam hal ini penyair tak sekedar menciptakan syair namun lebih pada kesakralan kandungan syairnya. Karena posisi penyair yang demikian itu, maka kabilah-kabilah sangat bangga dan sangat menghormati para penyair yang ada di kabilah nya. Karena mereka menyakini, orang yang lihai dan pandai mencipta syair dan melantunkan nya mempunyai kedudukan tertinggi, pangkat kehormatan disematkan oleh mereka dalam pandangan penduduk Arab. 

Adapun sesiapa di kabilahnya mempunyai penyair, maka kabilah tersebut akan naik derajatnya serta dihormati oleh kabilah lainnya. Otomatis pelayanan mereka terhadap para penyair sangat besar. Mereka akan menggelontorkan berapapun ribuan dirham untuk penyair agar selalu membuat syair yang melebih-lebihkan golongannya.

Ibn Qutaibah berpendapat : "Syair merupakan kekuatan yang dipakai oleh suatu suku untuk menancapkan eksistensinya, mendompleng kehormatannya dan mempertahankannya". Penyair jahili sangat suka mendendangakn syair mereka di tempat umum atau ditujukan kepada al-Mamduh (orang yang dihormati) seperti ketua panglima perang atau penguasa. 

Syair-syair yang diucapkan oleh penyair banyak ditulis pada dinding rumah, pelepah kurma, dedaunan kering, dan tulang belulang. Sebagai elit, mereka mempunyai kelebihan, baik dalam segi hafalan yang kuat, pengetahuan, pengalaman hidup, wawasan maupun dalam segi pengaruh di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, Bangsa Arab bahkan sampai hari ini menilai sastra tidak sekadar hiburan semata, melainkan juga sarana berdiplomasi dan pusaka kebanggaan.

Penyair terkemuka pada masa ini adalah yang terbaik dari yang pernah ada. Para pemilik Muallaqot As-Sab'u yang termasyhur di zaman nya seperti Antaroh ibn Syaddad, Zuhair bin Abi Salma, Umrul Qois, Amr bin Kultsum, Labid bin Rabiah dll (yang setiap dari mereka memiliki kumpulan syair-syair dalam bentuk Diwan yang cukup tebal).

Baca juga: Andai Ku Tahu Ungu Mengutip Syair "I'tiraf" Abu Nawas

Keunggulan syair pada zaman ini adalah kekuatan bahasa yang kokoh, matang, padat, kaidah bahasa arab yang kuno (pada saat itu masyarakat jahiliyah menggunakan bahasa Arab kuno "al-Arabiyah al-Qadimah"), aspek keindahan bahasa yang tinggi (di dalamnya terdapat aspek balaghah terdiri atas majaz, tasybih, dan isti'arah) dan pemaknaan kata perkatanya begitu luas. 

Bahkan sebagian syair cukup sukar dipahami maknanya karena mengandung beberapa mufrodat yang langka, perumpamaan-perumpamaan indah dan unik sehingga memerlukan pengetahuan linguistik yang luas untuk memahami maknanya. Perbedaan makna dalam penggunaan kalimat banyak di dalam syair jahili. 

Pemilihan kata yang masih menggunakan bahasa Shamiyah, Arab kuno atau menggunakan bahasa Parsi juga mewarnai syair pada masa Jahiliah. Contohnya seperti dalam penggunaan kata "al-qamhu", "al-ghaitsu", "al-matharu", dan "al-burru". Al-Jahiz menyebutkan bahwa kata al-qamhu merupakan bahasa Shamiyah, "al-khintikah" bahasa Kufiyah dan "al-burru" bahasa Hijaziyah. Perbedaan asal kata bahasa Arab melahirkan banyak sinonim dari satu kata, dan dalam memahami syair-syair Jahili memerlukan pengetahuan bahasa yang luas (al-Muallaqat, hal. 20).

Aghrodh (tema) yg berkembang di zaman ini juga berbagai macan diantaranya ialah Madh (puji-pujian), Ghozal (Romantisme), Hija' (sarkasme), Fakhr (keberanian) & beberapa beberapa aghrodh lainnya, belum ada tema baru seperti Khomriyat (syair tentang khomer) atau sosial politik seperti syair pada zaman modern saat ini yang menjadi karakteristik para penyair dalam mengungkapkan perasaan mereka. Karena pada zaman itu mayoritas syair hanya masih berbentuk kesenian murni.

Salah satu ciri yang mencolok dari Syair zaman ini, tidak adanya unsur agama yang masuk dalam syair, belum ada penggunaan istilah-istilah agama, tidak ada puji-pujian pada Tuhan, sangat berbeda dengan syair setelah zaman ini yang mulai banyak menggunakan istilah-istilah keagamaan dan ketuhanan. 

Pada zaman ini, ada kegiatan yang bernama festival pasar Ukadz atau kalau bahasa sekarang disebut Ukadz Fest, yang diadakan di kota Mekkah. Pasar ini dahulunya terletak di wilayah Najed yang berdekatan dengan daerah Urafat. Pada acara ini,  penyair-penyair ulung yang militan akan berdatangan dari semenanjung Arab, mereka akan memamerkan setiap karya terbaik mereka, dan syair yang menang dalam festival ini akan ditempelkan di dinding Ka'bah sebagai bentuk penghargaan terhadap Syair. Dan pula jika syair yang diutarakan bagus, maka namanya akan terkenal di khalayak ramai.

Baca juga: Keindahan dan Manfaat dari Syair Pra Islam

Sejak festival ini berlangsung, setidaknya ada 7 syair terbaik yang pernah ditempelkan di dinding Ka'bah, yang terkenal dengan sebutan Mu'allaqot as-Sab'u, Tujuh Syair yang ditempelkan:

  1. Umru'ul Qois: Qifa Nabki....
  2. Thorofah bin Abid: Likhoulata Athlalun
  3. Harits bin Hillitzah: Adzanatna bibainiha Asma'u
  4. Zuhair bin Abi Salma: Amin Ummi Aufa dimnatun
  5. Amr bin Kultsum: Ala Hubbi Bishohniki
  6. Antara ibn Syaddad: Hal Sa'alta al-khaila
  7. Labid bin Rabiah: Diwan Labid ibn Rabi'ah al-'Amiry. Beliau masuk kedalam kategori penyair "al-Mukhadramun" karena dia hidup dan mengalami perjalanan hidupnya dalam dua masa yaitu masa Jahiliah dan Islam.

Al-Mu'allaqat memiliki istilah lain yakni: as-Sumuth (kalung), al-Mudzahabat (ditulis dengan tinta emas), Qashaid Masyhurat (kasidah-kasidah tersohor), As-Sab'ut Thawil (tujuh syair panjang), Qashaid Tis'un (kasidah sembilan) dll. 

Ada beberapa pendapat mengenai jumlah penyair Al-Mu'allaqat, ada yang mengatakan sepuluh, sembilan dan tujuh penyair, karena perbedaan ini terjadi banyaknya penelusuran riwayat sanad oleh para perawi syair berkenaan dengan jumlah penyair al-Mu'allaqat. Namun mayoritas para sastrawan dan ahli sastra bersepakat bahwa syair al-Muallaqat berjumlah tujuh yang berasal dari tujuh penyair.

Kalau penulis menyoroti dari ketujuh penyair diatas maka ada 3 penyair terbaik dari yang terbaik pada zaman ini diambil dari sudut pandang peringkat teratas dari segala aspek karya-karyanya, yaitu: 'Umrul Qais dengan syair-syair ritsa'-nya, Antarah bin Syaddad dengan syair-syair fakhr-nya, Zuhair bin Abi Salma dengan syair madh-nya, Labid bin Rabiah dengan syair hikmah-nya.

Sumber:

  1. https://twitter.com/hammad_dun?s=20
  2. Buku Al-Mu'allaqat: Syair-syair Arab Pra Islam terjemahan Bachrum Bunyamin & Hamdy Salad

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun