Mohon tunggu...
taufiq candra
taufiq candra Mohon Tunggu... Freelancer - Saya adalah mahasiswa di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Saya menulis di kompasiana dalam rangka untuk belajar bagaimana menulis yang baik dan menginspirasi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tinggal Penyesalan

16 Desember 2017   20:54 Diperbarui: 16 Desember 2017   22:40 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senandung mendung datang seketika di hadapanku. Entahlah pertanda apakah itu. Yang kutahu pasti, itu semua tidak baik bagiku. Dia adalah sesosok benda yang mungkin akan membawa dampak positif dan negatif. Di mana positif dan negatif seakan saling menjatuhkan dan menumbangkan.

Positif memang kuat, tetapi negatif juga tidak kalah kuatnya. Mereka saling beradu satu sama lain hanya untuk tujuan mencari pengikutnya masing-masing. Kelalaian dan kealpanku menghantam jiwaku sendiri membuat batinku menjerit tak menentu dalam kesunyian. Jeritanku memecah seluruh penjuru alam, bak sebuah gempa yang menerjang pemukiman.

Alasan usang yang tak berguna terlintas di pikiranku yang menandakan bahwa aku takboleh beranjak. Ratusan remaja-remaja tidak berdosa sepertiku menjadi korbanmu. Aku terlalu terlena dalam sebuah kenyamanan sesaat. 

Kerap kali aku berpikir ini merusak jiwaku, tetapi secepat kilat kuhapus semua itu. Mungkin aku terlalu takut untuk beranjak atau mungkin aku terlalu menikmati duniaku yang melarat.

Tanpa kaki, tanpa tangan, tanpa telinga, tanpa sanak saudara, dan tanpa muka aku bagaikan sebuah benalu di pepohonan. Di balik kota yang bergelimang, tetap ada orang-orang sepertiku yang merusak kemegahan kota metropolitan. 

Mungkin aku seorang buangan. Tidak ada satu pun orang di muka bumi ini yang menyukaiku, bahkan hampir semua orang membenciku dan membuang muka dariku. Kini, arang sudah menjadi abu dan nasi telah menjadi bubur. Jika semua telah berubah apa yang tersisa untukku?

Penguasa-penguasa dunia menyediakan kesempatan untuk kembali, namun orang-orang sepertiku hanya melirik tak tertarik dan langsung mengalihkan pandangan. Sempat hatiku berusaha menoleh, akan tetapi pikiranku menentang semua itu. Pikiran dan semua yang terbang di kepalaku melarang untuk kembali dengan jiwa dan ragaku yang telah hancur dalam ambang butiran-butiran debu. 

Apa yang mampu aku lakukan? Takada, hanya kosong dan hampa yang tersisa di sela-sela umurku yang kian kritis. Meskipun kalbu ini mengatakan masih ada secerca cahaya di sana. Namun, sesungguhnya dilemalah yang ada dalam penentuan yang takkunjung sirna.

Aku sadar bahwa tempatku berpijak kian gelap dan hitam pekat. Tempat sandaran ini telah berubah semakin jahat dengan membunuh orang banyak. Tidak ada yang bisa dihentikan, semua telah berjalan dengan sebagaimana mestinya. Mayat-mayat yang bergelimang di sisa-sisa pepuingan ini hanyalah mayat tak berarti dan berdosa. Mereka hanyalah sebuah bukti kekejaman dan kekhilafan semata. Tak berarti, tak bernilai, dan takada harganya sama sekali.

Saat ini aku sudah terlalu terlontar jauh. Aku sudah sampai di tepi. Berikanlah seribu kata puisi daripada satu rumus yang penuh janji di mana aku tidak mungkin dapat kembali. Kini, hidupku sama sekali tak memiliki arti. 

Aku telah kehilangan segalanya. Aku kehilangan semua yang aku miliki, baik cinta, kasih, dan harga untuk seorang pribadi. Seiring berjalannya waktu aku semakin jauh terjerumus dari semua janji-janji semu. Tenggelam dalam kesalahan yang mematikan, rusak dalam nada-nada kehancuran, dan sekarat dalam nyawa terempas.

Kembali kumencoba menapaki kaki menyusuri tepian jalan, namun tetap tak kutemukan kedamaian. Kutatap lautan yang luas, tetapi hanya riuh yang terpandang. Kapasku yang dulu bersih kini telah menjadi debu. Kain yang dulu putih telah terisi dengan tinta kelabu. Kau buat aku tersipu, tapi bukan malu. Aku tertunduk bukan pertanda takut. Hanya saja detak jantungku yang semakin semrawut. Lemah, resah, bahkan putus asa, kaulah yang benar-benar membuatku sengsara dan terus menderita, bahkan aku nyaris gila.

Kau hanyalah sebuah serpihan debu yang mampu membuatku lesu dan seketika membisu. Air yang jernih telah menjadi keruh dan hatiku yang bersih menjadi terpengaruh. Dirimu membuat aku bahagia, tapi hanya sebatas sejenak. Isi dan cerita hidupku yang berubah hanya meninggalkan luka lara. Aku sangat membencimu meskipun kau selalu dipuja-puja sebab karenamu masa depanku suram dan keluargaku berantakan. 

Mimpiku telah direnggut olehmu serta namaku telah berganti dan taksesuai dengan yang dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun