Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Ruang Pucat di Sebuah Rumah Sakit di Pekanbaru (Cerita dari Kisah Nyata)

6 November 2020   14:08 Diperbarui: 6 November 2020   19:32 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Chris Buckwald on Unsplash

Raut wajahnya santun, bicaranya pelan dan sangat sopan, dan selalu menunjukkan sikap menghormati. Ia, kukira, tampak seperti seorang karyawan yang tak pernah menolak, selalu mau dan bersedia mendengar dan mematuhi perintah atasan.

HM. Prasetyo, atau yang akrab aku panggil Pras, laki-laki pendek dan agak gemuk, berusia sekitar 35 tahun- saat itu. Ia adalah salah seorang dari sangat sedikit pekerja-pekerja 'manutan' yang pernah kukenal. Pekerjaannya menyiapkan dan membuat gambar kerja. Drafter.

Pras memang seseorang yang sangat pendiam. Jika aku datang ke kantornya dan melakukan rapat koordinasi dengan Frans, atasan Pras, aku selalu melihat Pras dalam 3 perkara saja: bekerja, bekerja, dan diam. Diam tak bersuara.

Pras sangat berbeda dengan Frans yang lulusan teknik sipil institut negeri sangat keren di Bandung. Frans itu suka berbicara dan maunya ingin terus berdebat denganku - tentang apa saja. Dan, kupikir, Frans tetaplah Frans, tipikal site manager-site manager lainnya: selalu berangan-angan agar pekerjaan di lapangan dapat dikerjakan dan kelar dalam waktu yang secepat-cepatnya, efisien, dan memberikan profit yang baik bagi perusahaannya.

Yang aku ingat, sudah berkali-kali terjadi, dalam rapat koordinasi di lapangan, ia memintaku agar aku melonggarkan aturan-aturan ketat dan memerbolehkannya memulai pekerjaan dengan tanpa gambar detil yang disetujui terlebih dahulu.

Tetapi, meski ia nerocos begitu rupa, aku tetap bekerja dan teguh memegang prosedur bekerja. Kukatakan kepadanya bahwa sebelum gambar detil pekerjaan diajukan, direview, dan disetujui, tak kan kuijinkan ia memulai bekerja. Aturan adalah aturan...  

"Tidak, pak! Gambar detil harus bapak buat. Harus disubmit, harus saya setujui dahulu sebelum bapak memulai melaksanakan pekerjaan," kataku. Kalimat itu, seingatku, selalu kuulang-ulang terus dalam beberapa kali rapat koordinasi.

"Tapi, ehm, maksud saya, jika saya harus menyelesaikan semua gambar terlebih dahulu, dampaknya mungkin proyek menjadi terlambat, pak."

"Maaf. Hanya detail drawing yang akan menjadi satu-satunya referensi bapak melakukan pekerjaan konstruksi. Tidak ada yang lainnya."

Akhirnya, Frans, atasan Pras yang gemar berdalih itu, menyerah. Tak berkutik.

Begitulah. Pras, barangkali karena disuruh Frans menyelesaikan gambar secepat-cepatnya, hanya bisa pasrah diberikan pekerjaan dengan due-date yang hampir tidak masuk akal. Ia lalu bekerja mati-matian menjaga janji. Dari beberapa kisah yang diceritakan teman-temannya, aku mendengarkan kabar bahwa ia bekerja dengan tidak lagi memedulikan waktu. Berpuluh-puluh hari ia bekerja hingga lewat di atas jam 2 dini hari. Dan, fatalnya, hanya bergelas-gelas kopi dan rokok yang menjadi teman setianya!   

Pras salah. Tetapi, kupikir, Frans lebih salah lagi. Ia seharusnya tahu pekerjaan membuat gambar detil pekerjaan itu bukan pekerjaan sepele. Berpuluh-puluh lembar harus ia selesaikan dalam waktu sangat singkat. Dan, di lapangan, nyatanya hanya ada Pras seorang yang bisa mengerjakan pekerjaan itu. Frans mestinya berupaya mencari tambahan drafter untuk membantu Pras. Tetapi, ternyata, itu tidak dikerjakannnya.

Dan, Pras pun tidak berkutik menerima perintah Frans. Ia bekerja sampai larut lalu tertidur usai subuh. Jam delapan atau sembilan pagi ia bangun. Sarapan sebentar lalu kembali bekerja. Seumpama aku menjadi dia, mungkin aku sudah akan berteriak menyerah. Adalah sesuatu yang sangat mustahil sekaligus menakutkan jika aku harus lembur setiap hari terus menerus sampai melangkahi dini hari dan tak bertatap muka dengan nasi setiap malamnya - melainkan hanya kopi dan rokok. Sementara target menyelesaikan gambar telah menginjak minggu terakhir dan belum ada kabar akan selesai tepat pada waktunya.

Daya tahan Pras rontok dan terjun ke titik terendah sehingga pada hari itu, pukul delapan malam, usai ia menyelesaikan selembar gambar terakhirnya, Pras mendadak jatuh. Ia ditemukan tidak sadarkan diri di depan laptop-nya. 

Teman-teman seperusahaannya tentu saja sangat panik. Mobil kantor yang masih ada di lapangan segera dipanggil dan begitu datang, tubuh Pras digotong dan segera dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru. Namun, takdir ternyata tidak sesuai harapan, tepat sehari setelahnya, usai kumandang adzan maghrib terdengar, datang kabar mengagetkan: Pras meninggal dunia.

Aku kaget!

Tak pernah kusangka Pras, drafter pendiam itu, meninggal dunia. Pun tak pernah kuduga, jika sebuah investigasi dilakukan, bisa jadi aku akan dipanggil polisi. Setidaknya, kupikir, perintahku bisa dianggap menjadi penyumbang kejadian fatal (contributory factors).

Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan istri dan anak-anak Pras, yang ada di Jakarta, ketika menerima kabar bahwa Pras meninggal di tempat yang jauh dari keluarga ketika ia tengah berjuang mendapatkan rejeki untuk keluarganya. Tangis mereka pasti pecah saat jenazah Pras tiba.

Di ruang pucat itu, di sebuah rumah sakit di Pekanbaru, tahun 2005, saat aku melihat jenazah Pras terakhir kalinya sebelum dibawa pulang ke Jakarta, aku benar-benar merasa sangat bersalah. Kuhirup nafas dan kutahan beberapa saat agar reda gemuruh di dada. Aku hanya bisa diam. Tidak tahu aku harus menjawab apa jika tiba-tiba keluarganya menanyakan sebab-sebab kematiannya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun