Pras salah. Tetapi, kupikir, Frans lebih salah lagi. Ia seharusnya tahu pekerjaan membuat gambar detil pekerjaan itu bukan pekerjaan sepele. Berpuluh-puluh lembar harus ia selesaikan dalam waktu sangat singkat. Dan, di lapangan, nyatanya hanya ada Pras seorang yang bisa mengerjakan pekerjaan itu. Frans mestinya berupaya mencari tambahan drafter untuk membantu Pras. Tetapi, ternyata, itu tidak dikerjakannnya.
Dan, Pras pun tidak berkutik menerima perintah Frans. Ia bekerja sampai larut lalu tertidur usai subuh. Jam delapan atau sembilan pagi ia bangun. Sarapan sebentar lalu kembali bekerja. Seumpama aku menjadi dia, mungkin aku sudah akan berteriak menyerah. Adalah sesuatu yang sangat mustahil sekaligus menakutkan jika aku harus lembur setiap hari terus menerus sampai melangkahi dini hari dan tak bertatap muka dengan nasi setiap malamnya - melainkan hanya kopi dan rokok. Sementara target menyelesaikan gambar telah menginjak minggu terakhir dan belum ada kabar akan selesai tepat pada waktunya.
Daya tahan Pras rontok dan terjun ke titik terendah sehingga pada hari itu, pukul delapan malam, usai ia menyelesaikan selembar gambar terakhirnya, Pras mendadak jatuh. Ia ditemukan tidak sadarkan diri di depan laptop-nya.Â
Teman-teman seperusahaannya tentu saja sangat panik. Mobil kantor yang masih ada di lapangan segera dipanggil dan begitu datang, tubuh Pras digotong dan segera dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru. Namun, takdir ternyata tidak sesuai harapan, tepat sehari setelahnya, usai kumandang adzan maghrib terdengar, datang kabar mengagetkan: Pras meninggal dunia.
Aku kaget!
Tak pernah kusangka Pras, drafter pendiam itu, meninggal dunia. Pun tak pernah kuduga, jika sebuah investigasi dilakukan, bisa jadi aku akan dipanggil polisi. Setidaknya, kupikir, perintahku bisa dianggap menjadi penyumbang kejadian fatal (contributory factors).
Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan istri dan anak-anak Pras, yang ada di Jakarta, ketika menerima kabar bahwa Pras meninggal di tempat yang jauh dari keluarga ketika ia tengah berjuang mendapatkan rejeki untuk keluarganya. Tangis mereka pasti pecah saat jenazah Pras tiba.
Di ruang pucat itu, di sebuah rumah sakit di Pekanbaru, tahun 2005, saat aku melihat jenazah Pras terakhir kalinya sebelum dibawa pulang ke Jakarta, aku benar-benar merasa sangat bersalah. Kuhirup nafas dan kutahan beberapa saat agar reda gemuruh di dada. Aku hanya bisa diam. Tidak tahu aku harus menjawab apa jika tiba-tiba keluarganya menanyakan sebab-sebab kematiannya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H