"Setiap hari? Hanya untuk kucing-kucing kampung itu?"
"Ya, pak."
Saya kaget.
Banyak orang tidak menyukai kucing-kucing kampung, bahkan untuknya ikut sedikit berteduh di emperan rumah atau pekarangan ketika hujan saja mereka diusir. Atau, bahkan tidak sedikit yang memukulinya.Â
Saya kira saya adalah orang yang cukup "baik" dengan rela membeli ikan setiap hari sebelum saya berangkat ke kantor dan memberi makan mereka.Â
Tapi, di pasar tradisional Karbela ini, saya menemukan seseorang yang (ternyata) lebih peduli dibandingkan saya! Ia membeli ikan tidak kurang dari 80 ribu, kadang-kadang 100 ribu, setiap harinya, hanya untuk membeli makan kucing-kucing kampung di pasar dan di rumahnya.
Berapakah yang dihabiskannya sebulan untuk melakukan kebaikan itu?
Di kolong kota bernama Jakarta, yang egois, yang hiruk pikuk, ternyata saya masih bisa menjumpai orang-orang sebaik "bu Haji".
Ibu haji. Ia barangkali merasakan seperti yang saya rasakan. Ya, sejak saya menjadi pria rapuh itu, saya memang kerap membayangkan hidup seperti mereka. Lahir di gudang, tumbuh dan besar di jalanan, tanpa rumah, tanpa tuan, dan kerap kehujanan. Orang-orang sering memerlakukannya tidak manusiawi. Jika malam, mereka tidur di kolong-kolong mobil, dalam dingin, sunyi dan sendirian.
Siangnya mereka akan berlarian berebut makanan di tempat sampah. Dan ketika langit menuju temaram, saat saya akan terlelap di kasur empuk dengan pendingin udara, setelah saya memberinya makan, mereka kembali terlelap dalam dingin.