Kendati sempat menuai beragam kritik dari banyak pihak dan ramai diperbincangkan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid II DKI Jakarta tetap berlaku mulai hari Senin (14/9/20) kemarin.
Tadinya saya menduga ketentuan PSBB jilid II bakal akan sekaku PSBB jilid I yang berlangsung pada 10 April - 3 Juni 2020. Saya membayangkan kantor-kantor dan mall akan ditutup, jalanan akan sepi, orang-orang tidak diperbolehkan bepergian, Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM) Jakarta diberlakukan, dan (kembali) kisah dan suara-suara orang-orang kecil yang menangis karena tak lagi bisa memungut rejeki kembali diceritakan.
Akan tetapi, setelah PSBB DKI Jakarta Jilid II itu berlangsung, ternyata dugaan awal saya tersebut salah. Kantor dan mall ternyata tetap dibuka. Orang-orang diperbolehkan bepergian dan jalanan tetap saja ramai seperti sebelumnya - seperti pada saat PSBB transisi diberlakukan.
Pasar tetap ramai dikunjungi. Orang-orang di sudut-sudut kota Jakarta, di gang-gang kecil, di warung-warung kopi di belakang gedung-gedung jangkung, seperti yang saya lihat dan amati, masih seperti sebelumnya: santai dan cuek. Banyak yang tidak memakai masker, berkerumun, dan mereka menjalankan aktifitas sehari-hari tanpa sedikitpun rasa takut. Intinya: tidak ada yang berbeda antara PSBB Jilid II dengan sebelumnya!
Pertanyaan naif yang kemudian terlontar: "Mengapa orang-orang tetap santai dan tidak takut?"
"Apakah benar orang-orang yang bersikap cuek itu berhubungan dengan budaya dan perilaku?"
Hampir setiap kali saya membaca koran langganan kantor dan berita-berita yang dibagikan di kanal-kanal online, hampir selalu saya bisa membaca ulasan-ulasan dan pendapat mengapa orang-orang bandel dan cuek. Ulasan-ulasan dan pendapat itu sangat beragam. Semuanya bisa jadi benar. Tetapi, saya juga punya pendapat (pribadi) tersendiri mengapa hal ini bisa terjadi.
Sebenarnya, menurut saya, sikap cuek, bandel, melanggar, dan yang sejenisnya itu, adalah biasa dan lumrah dalam tatanan masyarakat dengan perilaku dan budaya yang buruk. Adalah betul bahwa ada sebagian masyarakat yang dengan sadar mau menggunakan masker, mencuci tangan atau menghindari kerumunan karena pengetahuannya, motivasinya, dan perilaku positifnya. Tetapi, kelompok masyarakat yang seperti ini sebaiknya tidak perlu saya tulis. That's all good! Â
Nah, jadi, yang sedikit ingin saya ulas dalam artikel ini adalah kelompok masyarakat yang bandel itu: yang tak mau menggunakan masker, tidak mencuci tangan atau tetap mendatangi kerumunan. Â
Kita tahu bahwa mengharapkan perubahan yang dihasilkan karena kekuasaan, hukuman, bahkan karena menakut-nakuti mereka adalah kesia-siaan. Benar bahwa perubahan mungkin akan terjadi tetapi hanya akan menghasilkan perubahan yang sifatnya sementara belaka. Perilaku buruk mereka kembali akan diulangi manakala kekuasaan atau hukuman itu ditiadakan. Perubahan yang permanen hanya bisa dihasilkan dari proses yang mengandalkan kepada kesadaran, pemahaman atau pendidikan, niat dan motivasi.
Oleh karena itu, yang benar, bukanlah seperangkat hukuman atau denda, organisasi atau kelompok orang, kekuasaan, apalagi hukuman dengan cara menakut-nakuti untuk menghasilkan perubahan. Kita memerlukan perubahan perilaku dan motivasi untuk berubah. Mereka harus dimiliki setiap orang dan harus ada di mana-mana karena setiap orang bertanggung jawab terhadap perilakunya masing-masing dan perubahan di sekitarnya.