Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Long Distance Marriage Itu Berat, tetapi Saya Bisa Menjalaninya Selama 20 Tahun!

7 September 2020   18:25 Diperbarui: 8 September 2020   01:31 3010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari masih tampak rendah di ufuk timur. Cahayanya yang kuning tua tampak berkilat indah di langit Seoul. Dari jendela pesawat, Incheon International Airport terlihat sangat menawan. Perlahan pesawat Boeng yang saya naiki mulai menurunkan rodanya.

Itulah momen pagi yang menyambut saya ketika pertama kalinya saya menginjakkan kaki di luar negeri. Seperti mimpi!

Itu terjadi pada tahun 1999.

Sengaja ku tuliskan sedikit kisah di atas sebagai pembuka cerita sekaligus ingin memberitahu Anda itulah awal atau tahun pertama kalinya saya memulai kehidupan baru - menjadi seorang ayah yang (seperti) tak memiliki keluarga. 

Itulah awal saya menjalani pernikahan jarak jauh (long distance marriage alias LDM) hingga kini. Long distance marriage, topik yang akan saya bagikan kepada Anda hari ini.

Flashback sedikit, yah. Saya menikah pada tahun 1997. Setelah berpindah-pindah tempat pekerjaan dan perusahaan, dan setelah keinginan memperoleh hidup yang lebih baik begitu menggebu, saya mulai tergoda untuk melamar bekerja di perusahaan asing atau perusahaan-perusahaan multinasional. Dan, barangkali sudah menjadi takdir-Nya, saya akhirnya tersesat di Seoul, Korea.

Di sini, di negeri empat musim ini, saya bekerja di industri ship building, selama 2 tahun. Dan, di sini juga, saya akan memulai menjalani kehidupan sangat sulit pada bulan-bulan pertama saya di luar negeri.

Menjalani long distance marriage atau pernikahan jarak jauh memang sangat sulit bagi saya terutama pada awal atau tahun pertama. Di Korea, setiap hari saya selalu ingat keluarga yang saya tinggalkan. 

Saya ingat rumah. Ingat kebiasaan istri saya yang selalu menciumi tangan saya usai saya mengantarkannya bekerja setiap hari. Lalu menjemputnya pulang setiap sore hari. 

Kami bercanda di sedel sepeda motor. Membeli tauwa langganan kami di pinggir sungai Gunungsari Surabaya dan bersama-sama kami menyantapnya. Kenangan dan momen itu begitu indah.

Tetapi, ya, saya tidak boleh lemah. Kembali, keputusan ada di tangan saya dan saya sudah memutuskannya. Saya sudah menuliskan harapan saya dalam sebuah cita-cita dengan tulisan sangat besar: saya harus bekerja di perusahan besar untuk menyelamatkan masa depan keluarga saya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun