Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Like dan Mimpi Sang Juara

17 Agustus 2020   21:26 Diperbarui: 17 Agustus 2020   22:47 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Like (Sumber foto ilustrasi: thepsychologist.bps.org.uk)

"Ayo yah. Please, tolong dibantu kampanye, ya!"

Kalimat permintaan itu mampir ke ponsel saya beberapa waktu lalu. Dari istri saya...

Namun, beberapa menit kemudian, saya balas pesan itu dengan satu kalimat yang saya sesali beberapa saat kemudian. "Ayah tak tertarik. Jadi, biarkan saja kalah!!!!"

"Dulur-dulur (saudara-saudara) tolong bantu voting, ya! Klik link-nya, terus tekan jempol (like). Gratis kok. Terima kasih banyak." Kurang lebih seperti itulah pesan yang berkali-kali dikirimkan istri saya di WhatsApp grup keluarga. 

Istri saya sangat berharap mendapatkan like sebanyak-banyaknya untuk anak saya Farah yang (sedang) mengikuti salah satu lomba yang diadakan sekolahnya. Tetapi, mendapatkan banyak like, ternyata, tak semudah yang dibayangkan istri saya. 

Setelah dua hari, hanya 31 orang saja yang memberikan vote (like). Angka itu jelas tak sebanding dengan jumlah viewer (orang yang meng-klik link) yang telah mencapai seratus lebih sekian. 

Itulah sebabnya, istri saya akhirnya mengirimkan saya pesan permintaan yang lantas saya balas dengan kalimat, "Ayah tak tertarik. Jadi, biarkan saja kalah!!!!"

Beberapa menit kemudian, balasan itu (baru) saya sesali. Ya, kesan yang barangkali ada di pikiran istri saya, seperti saya tak peduli atau tak menghormati atau tak meng-apresiasi apa pun atas usaha istri saya.

Dan, bahkan, setelah balasan itu, sampai 24 jam kemudian istri saya tak (lagi) mau membalas pesan-pesan saya lagi!

Tanpa bermaksud mendemotivasi istri dan semangat berjuang anak saya, harus saya akui bahwa sistem penjurian dengan menggunakan voting (like), itu serupa dengan mendegredasi apresiasi dan nilai karya. 

Maksudnya, apresiasi atau like atas karya itu semata-mata pasti diberikan bukan atas dasar apresiasi atau pengakuan kualitas, tetapi lebih karena merasa tak enak, sungkan, atau karena kasihan. 

Saya meyakini, meski bukan satu-satunya sebab, tetapi banyak pembaca yang tak sempat memutarkan untuk menonton videonya, sehingga setelah beberapa detik, jari jemari mereka langsung menekan like, lalu pergi keluar begitu saja. Yang penting mengklik like, selebihnya adalah perkara tak penting.

Jadi, apa artinya?

Artinya like, bagi mereka, hanya sekedar simbol bahwa mereka sudah meluluskan permintaan. Soal karya itu bagus atau tidak -- itu tak penting. Nah, apakah ini namanya bukan mendegredasi apresiasi?  

Penjurian dengan menggunakan sistem like, kembali harus saya akui, tak memiliki cukup banyak kelebihan dibandingkan "keburukannya". Itulah sebabnya, saya (pribadi) merasa tak menyenangi penilaian lomba menggunakan sistem ini.

Di balik kelebihan sistem ini, seperti; mempermudah peserta lomba memastikan "nasibnya" dan mengurangi tugas dewan juri (guru sekolah), saya mencatat beberapa "keburukan"  penjurian dengan menggunakan sistem like ini.

Pertama, seperti saya tulis di atas; mendegredasi apresiasi. Jika yang terbaik (pemenang) hanya ditentukan dengan seberapa banyak like tentu ini tidak merepresentasikan kualitas karya yang sesungguhnya. Yang memberikan like bisa jadi tak paham kualitas karya atau objektivitas penilaian karya.

Yang jamak terjadi adalah membuka link, melihat beberapa detik, klik jempol, lantas pergi. Artinya, yang menang belum tentu yang terbaik, kecuali mereka (pemberi like) tahu tentang karya dan yang diberinya like memang pantas diberikan apresiasi.

Kedua, sistem like itu (sangat) merepotkan dan "menguji" mental orangtua. Suatu waktu, saat anak saya ikut lomba yang lain beberapa bulan yang lalu, istri saya bahkan terpaksa harus "mengemis'"like sampai ke pesantren di Bandung, padahal istri saya baru mengenal pimpinan pesantren tersebut. Demi untuk sebuah like, istri saya harus sanggup menahan malu..  

Ketiga, sistem like itu (sangat) menyita waktu orangtua. Barangkali memang benar bahwa ada sebagian orangtua yang cuek dan acuh tak acuh, tetapi bagi sebagian lainnya tidak! 

Tuntutun mendapatkan like sebanyak-banyaknya itu saya kira sama saja dengan kutukan racun pekat dopamin dan oxytocin yang menimpa pengguna sosmed yang sulit pergi dari kerumunan. Atau, serupa, dengan angan-angan konyol yang menimpa anak-anak yang berharap akan mendaptkan hadiah uang yang diselipkan di kantong makanan kecil yang ia beli di warung-warung. Anak-anak tak akan pernah mau berhenti sebelum uangnya habis!

Saya pernah mendapati beberapa orangtua yang tak lelah "berjuang" sampai larut malam hari (bahkan) hingga dini hari. "Please, mohon di-like, ya!" Begitu pintanya. Demi untuk like, mereka rela "berkampanye" hingga jam 02.30 dini hari!

Jadi, harus bagaimana?

Sebaiknya, pihak sekolah atau guru bisa meninjau kembali pemberian tugas sekolah atau pengadaan lomba dengan penjurian menggunakan sistem like. 

Kembalikan saja penilaiannya berdasarkan kriteria penilaian yang dibangun dan disepakati. Jangan meng-copy paste sistem penjurian yang digunakan lomba-lomba yang serupa dengan ajang pencarian bakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun