Beberapa waktu lalu, di ruang WAG (WhatsApp Group) yang saya ikuti, seorang teman pernah membagikan kabar bahwa Pemerintah akan mencabut subsidi LPG 3 kilogram mulai bulan Juli 2020 sehingga harganya akan naik menjadi Rp 35 ribu.
Ruang WhatsApp grup itu pun riuh. Beberapa saat. "Pemerintah tak berpihak kepada rakyat," tulis Dewi, teman saya.
Saya diam. Sedikitpun saya tak berkomentar sebab saya memang tak tertarik 'berdebat'. Energi dan proyek energi adalah topik menarik dan menjadi minat pengetahuan saya. Tetapi, maaf, saya tak gemar berdebat. Tak lama, saya pun meng-klik 'clear chat'.
Saya lalu menggunakan kemampuan literasi saya. Dari beberapa sumber yang saya bisa saya jadikan rujukan, saya menemukan hasilnya; bahwa informasi Pemerintah akan mencabut subsidi LPG 3 kilogram mulai bulan Juli 2020 adalah tidak benar. Kementerian Komunikasi Dan Informatika sendiri juga memastikan informasi tersebut sebagai hoaks.
Ya. Informasi tersebut memang hoaks. Sebab, faktanya, Pemeritah memang tidak menaikkan harga elpiji 3 Kg pada bulan Juli 2020 kemarin, kan?
Pertanyaan naif yang kemudian terlontar: jika kenaikan tidak terjadi pada bulan Juli, apakah mungkin rencana mengendalikan subsidi LPG 3 kilogram akan (tetap) dilakukan, misalnya, akhir tahun ini, atau awal tahun depan?
Jawabannya; ya, sangat mungkin sebab pengendalian subsidi memang sudah lama direncanakan oleh Pemerintah.
Sejak Pemerintah mengenalkan gas tabung ukuran 3 kg berwarna hijau yang kemudian dikenal sebagai gas melon, harga elpiji 3 kilogram yang dibeli masyarakat adalah Rp 18.000 per kilogram (saat ini). Padahal, harga rata-rata gas elpiji nonsubsidi (keekonomian) seharusnya adalah berkisar Rp 10.000 -- 11.000 per kg.
Dengan menggunakan rata-rata harga gas nonsubsidi (harga ke-ekonomian), maka, mestinya harga gas elpiji 3 Kg nantinya akan menjadi Rp 25.000-40.000 per tabung.
Dengan konsumsi nasional per tahun 6-7 juta metrik ton (dalam RAPBN 2021 volume LPG 3 kg sebesar 7-7,5 juta metrik ton), maka, subsidi gas melon bisa mencapai angka lebih dari Rp 36 trilyun per tahun. Pada tahun 2018, subsidi elpji sudah mencapai Rp 58,1 trilyun dan pada tahun 2019 relatif sama, sebesar Rp 58 trilyun.
Dengan angka-angka dan asumsi seperti di atas, jauh-jauh hari Pemerintah sudah merencanakan akan melakukan pengendalian subsidi gas melon yang salah satu diantaranya adalah dengan menyalurkan gas melon secara tertutup. Artinya, gas melon bersubsidi hanya bisa dibeli oleh masyarakat yang benar-benar berhak. Dengan cara demikian, Pemerintah diperkirakan akan bisa menghemat subsidi sampai Rp 50 trilyun.
Namun, sayangnya, sebelum rencana pengendalian ini benar-benar diterapkan, sejumlah kalangan sudah menerjemahkan rencana pengendalian tersebut secara liar. Dan, lalu, muncullah kabar hoaks seperti yang dibagikan di ruang WAG (WhatsApp Group) yang saya ikuti. Di sosial media juga serupa; ramai suaranya..
--
Kenaikan, penyesuaian harga, pencabutan subsidi atau apapun namanya itu memang selalu menjadi komoditas politik di negeri ini. Isu kenaikan harga energi menjadi isu sangat seksi dan perbincangannya selalu riuh. Jauh lebih riuh dan menarik daripada membicarakan masa depan. Saking riuh dan seriusnya isu bisa berujung menjadi demonstrasi dan konflik. Di Indonesia, isu kenaikan energi, termasuk isu agama, memang kerap dijadikan tunggangan dan agenda gelap elit polistisi untuk tujuan-tujuan kotor mereka.
Sebenarnya, menurut saya, tidak 'sulit' bagi Pemerintah menyegerakan rencana pengendalian subsidi gas melon, tetapi, Pemerintah tampak sangat berhati-hati menghitung efek yang mengikutinya.
Pemerintah memang harus cermat menghitung untung dan rugi. Pemerintah, berdasarkan hitungan di atas kertas dan asumsi makro, jelas sekali ingin agar subsidi gas melon harus dikendalikan, agar roda bisa diputar cepat. Tetapi, dampak politis tak boleh dikesampingkan begitu saja.
Sumber foto ilustrasi: Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H