Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Digital Menciptakan Kecemburuan dan Ketidaksetaraan

27 Juli 2020   14:49 Diperbarui: 27 Juli 2020   14:45 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: Kompas

Pendidikan digital atau yang biasa kita kenal sebagai sistim Pembelajaran Jarak Jauh, yang mulai diterapkan sejak Maret 2020, belakangan ini semakin menjadi dilema. Suara-suara 'penolakan' kian kencang digaungkan. Selain diperlukannya fasilitas utama sebuah handphone atau PC, biaya tambahan untuk internet dan kesiapan sumber daya dan jaringan juga menjadi masalah.

Kita memang sadar mengakui bahwa tidak ada yang salah dengan memberlakukan kebijakan pendidikan digital sebab tujuan kebijakan ini adalah untuk "kepentingan dan keselamatan bersama".

Tetapi, mari kita lupakan sejenak tujuan mulia itu dan asumsi-asumsi yang digunakan dan melihat permasalahan yang terjadi di lapangan termasuk mendengarkan keluh kesah orang-orang kecil yang mengekspresikan kekesalannya dengan bahasa-bahasa sederhana mereka, yang mewakili keadaan di lapangan yang sebenarnya.

"Saya harus menggadaikan BPKB motor saya di tukang gadai untuk membeli handphone, mas," kata mak Kus kepada saya. Beberapa minggu yang lalu.

"Saya tak tega karena Nur dan adiknya merengek terus menerus."

Dengan uang hasil menggadaikan BPKB sepeda motornya, Nur tentu saja bergegas pergi membeli handphone dengan riangnya. Ia barangkali tak peduli raut wajah emaknya dan kenyataan bahwa uang yang di tangannya itu nyata-nyata telah menambahi tumpukan hutang-hutang yang sebelumnya sudah ada. Hutang yang sebelumnya belum lunas kini  harus ditambah hutang lagi untuk membeli handphone.

"Saya tak tahu bagaimana harus mengambil kembali BPKB motor sebab gaji saya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."

Usai mak Kus, ibu Nur, yang bekerja menjadi buruh cuci untuk anak-anak penghuni kostel yang saya sewa itu membagikan sedikit kisahnya kepada saya, beberapa saat saya terdiam bungkam. Pada saat itu, saya mendadak ingat nasib banyak anak-anak dan orang-orang kecil di tempat yang lain, di banyak tempat, yang tak memiliki handphone dan akses internet, yang seringkali luput didokumentasikan..  

Dua hari yang lalu sebuah kisah kecil yang hampir serupa juga menghampiri timeline saya. Kisah kecil tentang tugas pembelajaran daring yang diberikan kepada salah satu peserta didik itu menyentak emosi saya dan membuat saya terenyuh.

Bagaimana tidak terenyuh, Anda (juga) pasti sudah membaca kisah itu, postingan itu menceritakan sosok anak laki-laki seusia 12-an tahun yang mendatangi sebuah warnet sembari membawa beberapa lembar kertas buku tulis yang disobek. Isi tulisan yang dibawa anak itu adalah draft tugas sekolah. Tetapi, betapa kaget dan terperanjatnya anak itu, ketika anak kecil itu bertanya kepada operator warnet berapa harga mengetik dan mencetak. "Biayanya sekitar 24 ribu," jawab operator warnet. Di tangan anak itu, seperti yang dilihat oleh pemilik cerita, hanya ada uang 5 ribuan!

Wajah anak itu mendadak bingung dan seperti tidak tau harus berbuat apa. Anak itu tentu saja ingin memenuhi tugas yang diberikan gurunya. Tetapi, ia tidak memiliki uang cukup untuk mengetik dan mencetak. Anak itu pulang kembali ke rumahnya dan barangkali mau meminta tambahan uang ke ayah atau ibunya. Tetapi, setelah ia kembali ke warnet, tetap saja ia tidak mendapatkan uang.

Dalam percakapaan singkat dengan pemilik kisah, anak itu menyampaikan keluh kesahnya selama belajar di rumah. Di rumahnya, hanya ada satu handphone: yaitu milik ayahnya. Sementara yang harus belajar menggunakan handphone ada 3 orang: dia dan dua adiknya. Anda bisa membayangkan betapa sulitnya, kan?

Pada kisah mak Kus dan anak laki-laki 12 tahun itu, empati dan emosi saya meratap-ratap!

Banyak sebenarnya yang merasa jengkel, kesal, dan bosan dengan sistim pendidikan digital kita. Cobalah baca artikel-artikel yang ditulis di kanal-kanal informasi, di banyak media, termasuk juga di Kompasiana, dan dengarkan suara-suara mereka di sosial media. Mereka, orang-orang kecil, sangat mengeluhkan sistim pendidikan digital itu. Sembari menyimpan kesal, mereka hanya bisa pasrah mengikuti sistim pendidikan digital dengan hati dongkol.  Pasrah karena mereka tak bisa melakukan apa-apa.

Penolakan atau perbaikan sistim pendidikan digital kita sudah disuarakan banyak orang dan kalangan. Di Kompasiana saja, sependek yang saya ingat, ada puluhan artikel yang menuliskan kisah sulitnya pendidikan digital diterapkan dan membagikan suara-suara yang mengiba. Khrisna Pabichara, salah satu penulis Kompasiana, dalam artikelnya yang berjudul "Mas Nadiem Sebaiknya Pelesiran ke Kampung: Bukan Surat Terbuka", menuliskan harapannya agar surat dan keluh kesah 'remeh'nya dapat menemui dan menggugah hati Mas Nadiem. Di sosial media juga serupa. Ramai. "Yang penting ketatkan protokol kesehatan dan jaga dengan tangan besi. Kami semua bosan dengan situasi ini," tulis pegiat media sosial Denny Siregar di akun tweeter-nya kemarin (26/7/20).

Bagi mereka yang berekonomi mapan, yang mempunyai handphone untuk masing-masing anaknya, yang mempunyai laptop dan mesin printer, mereka pasti merasa tidak memiliki sedikitpun masalah. Tetapi, bagimana dengan nasib orang-orang kecil?

Pada saat mereka, orang-orang kecil itu, sedang berusaha patuh dan taat kepada instruksi Pemerintah, Anda tahu apa yang mereka lakukan, kan? Mereka itu menjual kambing, pinjam ke rentenir, menjual sisa gabah yang mereka punyai dan menggadaikan sepeda motor untuk bisa membeli handphone. Apa itu sudah cukup? Belum! Setelah itu harus memikirkan membeli kuota atau paket internet. Bagaimana jika kemudian guru-guru mereka memberikan tugas mencetak?

Pendidikan digital benar-benar telah meninggalkan dampaknya terhadap kondisi kesehatan psikologis orang tua dan siswa. Masalah ini turut berdesak-desakkan dengan masalah lain yang sebelumnya sudah ada, seperti: infrastruktur informasi teknologi masih yang masih terbatas, keterbatasan penguasaan teknologi, dan prasarana yang kurang memadai. Sementara itu, dampak jangka panjangnya adalah timbulnya kecemburuan dan ketidaksetaraan. Ya, pendidikan digital telah menciptakan kecemburuan dan ketidakadilan antara masyarakat mapan dengan orang-orang kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun