Dalam percakapaan singkat dengan pemilik kisah, anak itu menyampaikan keluh kesahnya selama belajar di rumah. Di rumahnya, hanya ada satu handphone: yaitu milik ayahnya. Sementara yang harus belajar menggunakan handphone ada 3 orang: dia dan dua adiknya. Anda bisa membayangkan betapa sulitnya, kan?
Pada kisah mak Kus dan anak laki-laki 12 tahun itu, empati dan emosi saya meratap-ratap!
Banyak sebenarnya yang merasa jengkel, kesal, dan bosan dengan sistim pendidikan digital kita. Cobalah baca artikel-artikel yang ditulis di kanal-kanal informasi, di banyak media, termasuk juga di Kompasiana, dan dengarkan suara-suara mereka di sosial media. Mereka, orang-orang kecil, sangat mengeluhkan sistim pendidikan digital itu. Sembari menyimpan kesal, mereka hanya bisa pasrah mengikuti sistim pendidikan digital dengan hati dongkol. Â Pasrah karena mereka tak bisa melakukan apa-apa.
Penolakan atau perbaikan sistim pendidikan digital kita sudah disuarakan banyak orang dan kalangan. Di Kompasiana saja, sependek yang saya ingat, ada puluhan artikel yang menuliskan kisah sulitnya pendidikan digital diterapkan dan membagikan suara-suara yang mengiba. Khrisna Pabichara, salah satu penulis Kompasiana, dalam artikelnya yang berjudul "Mas Nadiem Sebaiknya Pelesiran ke Kampung: Bukan Surat Terbuka", menuliskan harapannya agar surat dan keluh kesah 'remeh'nya dapat menemui dan menggugah hati Mas Nadiem. Di sosial media juga serupa. Ramai. "Yang penting ketatkan protokol kesehatan dan jaga dengan tangan besi. Kami semua bosan dengan situasi ini," tulis pegiat media sosial Denny Siregar di akun tweeter-nya kemarin (26/7/20).
Bagi mereka yang berekonomi mapan, yang mempunyai handphone untuk masing-masing anaknya, yang mempunyai laptop dan mesin printer, mereka pasti merasa tidak memiliki sedikitpun masalah. Tetapi, bagimana dengan nasib orang-orang kecil?
Pada saat mereka, orang-orang kecil itu, sedang berusaha patuh dan taat kepada instruksi Pemerintah, Anda tahu apa yang mereka lakukan, kan? Mereka itu menjual kambing, pinjam ke rentenir, menjual sisa gabah yang mereka punyai dan menggadaikan sepeda motor untuk bisa membeli handphone. Apa itu sudah cukup? Belum! Setelah itu harus memikirkan membeli kuota atau paket internet. Bagaimana jika kemudian guru-guru mereka memberikan tugas mencetak?
Pendidikan digital benar-benar telah meninggalkan dampaknya terhadap kondisi kesehatan psikologis orang tua dan siswa. Masalah ini turut berdesak-desakkan dengan masalah lain yang sebelumnya sudah ada, seperti: infrastruktur informasi teknologi masih yang masih terbatas, keterbatasan penguasaan teknologi, dan prasarana yang kurang memadai. Sementara itu, dampak jangka panjangnya adalah timbulnya kecemburuan dan ketidaksetaraan. Ya, pendidikan digital telah menciptakan kecemburuan dan ketidakadilan antara masyarakat mapan dengan orang-orang kecil.
![Sumber foto ilustrasi: Kompas](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/27/pendidikan-digital-5f1e86e8d541df5ef572a7c2.jpg?t=o&v=555)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI