Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jangan karena Kedua Hal Ini Lalu Anda Resign!

20 Juli 2020   14:24 Diperbarui: 21 Juli 2020   14:17 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Resign. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Dalam tulisan/artikel sebelumnya di Kompasiana (6/7/20), "Tidak Cocok dengan Rekan Kerja, Haruskah Buru-buru Resign?", Indra Mahardika mengulas masalah konflik dan potensi konflik di tempat kerja dan tips-tips cara mengelolanya.

Meskipun saya sudah pernah membaca artikel yang serupa dengan ini, tetapi artikel tersebut tetap saja menarik bagi saya.

Konflik, kata Indra Mahardika, mempunyai sifat "tidak pandang bulu". Ia tak ubahnya seperti kehidupan sosial: selalu ada dan bisa menimpa kepada siapa saja. 

Tak peduli apakah Anda adalah karyawan baru yang sedang menjalani masa percobaan (probation) atau apakah Anda seorang manager atau senior manager.

Saya sependapat dengannya. Konflik itu, saya sangat percaya, ada dimana-mana. Yang membedakannya hanya: kuantitas dan kualitasnya. Banyak orang barangkali berharap, dengan resign, mereka mungkin akan menemukan lingkungan baru yang lebih baik -- dan tak akan lagi menjumpai konflik di tempat yang baru itu. Tetapi, pendapat saya, (maaf) itu salah besar!

Konflik di tempat kerja dapat terjadi di mana-mana dan dalam berbagai versi: antara karyawan dengan karyawan, antara tim dengan tim lainnya, atau antara pengawas dan anggota tim yang mereka kelola. Sesulit apa pun konflik yang tampak, menyelesaikannya adalah pilihan paling memungkinkan. Bukan lari menghindar.

Anda boleh membaca buku-buku teori manajemen dan belajar dari siapapun cara-cara mengelola konflik di tempat pekerjaan, dan akhirnya Anda akan mendapatkan kesimpulan yang nyaris serupa dengan pengalaman saya: 

Jika Anda adalah atasan, berilah panduan kepada bawahan Anda dan dorong mereka untuk menemukan cara untuk menyelesaikannya. 

Jika Anda adalah pihak yang terlibat dalam konflik, ajak teman Anda (yang berkonflik dengan Anda) berbicara bersama. Dengarkan kata-katanya. Cari jalan keluar dan jangan merasa lebih rendah untuk mengambil inisiasi meminta maaf.

That' said.

Dalam dunia kerja, konflik yang tak terselesaikan (biasanya) akan berujung pada keputusan resign. Ini sebenarnya menjadi pemandangan dan hal sangat lumrah. Ada yang resign atau mengundurkan diri, kemudian ada yang menggantikan. Ceritanya ada di mana-mana. Di perusahaan manapun.

Sumber foto ilustrasi: fbamaster.com
Sumber foto ilustrasi: fbamaster.com
Mengundurkan diri karena konflik dengan rekan sekantor hanya akan menjadikan Anda merasa sangat menyesal. Mungkin pada hari saat Anda dengan gagah mengatakan "saya mengundurkan diri", perasaan menyesal itu seperti tak tampak atau tidak Anda rasakan. Tapi, percayalah! Setelah amarah Anda mereda, Anda mulai akan menyesal.

Mengundurkan diri karena konflik atau karena emosi hanya akan membuat Anda merasakan nelangsa. Jika Anda resign, berarti Anda tak memeroleh pemasukan/gaji lagi, kecuali Anda sudah mendapatkan pekerjaan baru. 

Jika Anda memiliki tabungan, tabungan itu pun niscaya akan ludes terpakai untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sampai Anda kembali mendapatkan pekerjaan.

Jika Anda tak punya tabungan dan sama sekali tidak ada pekerjaan sampingan, hidup Anda hanya akan dirundung ketidaktenangan. Berdebar dan gelisah. Membayangkan kepada siapa lagi besok Anda akan mengetuk pintu rumahnya dan memohon bantuan untuk berhutang.

Tetapi, jika akhirnya resign tetap menjadi pilihan Anda, pastikan keputusan resign yang Anda ambil tersebut benar-benar bukan karena konflik atau keputusan yang gegabah. Melainkan karena Anda menerima opportunity yang lebih baik, misalnya: diterima di perusahaan yang lebih besar atau karena Anda ingin memulai menjalani usaha baru - alias tidak lagi menjadi karyawan.

Sudah lima belas kali lebih saya keluar-masuk perusahaan. Tetapi, jujur, dari kelima belas kali saya mengundurkan diri itu, tak ada satupun yang disebabkan karena konflik dalam arti yang sebenarnya. 

Lima belas kali lebih saya keluar-masuk perusahaan sudah saya lakukan karena saya mendapatkan opportunity lebih baik. Meminjam kata-kata bijak, saya berpindah karena saya ingin "melompat dari satu takdir satu ke takdir lainnya yang lebih baik."

Selain alasan mendapatkan opportunity yang lebih baik, ada lagi satu alasan yang membuat anda sangat berhak untuk resign, yaitu: karena Anda akan memulai menjalani usaha baru, alias Anda memutuskan tidak lagi menjadi karyawan. 

Contohnya: Tyo, teman saya. Dulu ia juga seorang karyawan. Tetapi, setelah ia yakin memilki resource cukup untuk menjalankan perusahaan, ia akhirnya memilih resign. Ia kini sudah dua perusahaan: perusahaan kontraktor dan sewa alat-alat berat.

Nah, jika Anda sudah memiliki resourse seperti yang Tyo miliki, saran saya: Anda memang harus segera mengundurkan diri!

Jika Anda enggan beranjak dari tempatmu sekarang padahal kamu bisa melakukannya, berarti Anda sudah mengikhlaskan Tuhan tak memberimu takdirNya yang selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun