Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Sebal Kamu Mengeluh!

10 Juli 2020   10:50 Diperbarui: 13 Juli 2020   10:35 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TAHUKAH Anda apa yang (paling) membuatku sebal beberapa bulan belakangan ini? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah: mendengarkan orang mengeluh! Ya, dalam beberapa bulan belakangan, setidaknya, saya sudah menjadi media keluh kesah dari 2 orang  yang sedang gundah: El dan Tyo. Mereka sama-sama mengeluhkan pekerjaannya dan 'takdir' hidupnya yang (maaf) berkesusahan. 

Jujur. Saya sebenarnya adalah orang yang tak suka mendengarkan orang merepet dan mengeluh. Jika diberikan pilihan: apakah saya harus mendengarkan mereka agar saya dianggap sebagai sahabat yang baik atau saya dianggap bukan siapa-siapa asal saya dibiarkan pergi? Maka, saya pun akan memilih opsi kedua.

Tetapi, sebelum kurampungkan tulisan ini, saya seperti merasa perlu menyampaikan kepada Anda bahwa saya tak memberikan makna yang sama antara mengeluh dengan meminta saran dan pendapat. Perbedaan keduanya, saya yakin, Anda tentu sudah tahu.

Tanpa diberi tahu, saya sebenarnya sudah tahu El dan Tyo adalah orang-orang yang sedang mengalami kesulitan sebab mereka memang sedang tidak bekerja. Anda sebaiknya tak bertanya apa alasannya.

Wujud kesal saya kepada El dan Tyo, yang pertama adalah: mereka mendramakan keadaannya.

Yang kedua: apa yang ada dalam imajinasi mereka, hanya uang lah yang menjadi solusi dari segenap solusi. Huhhff!!  

Sama sekali saya tidak terlihat mereka tertarik mendengarkan kisah-kisah meng-inspirasi sekaligus ajaib. Tidak, sedikit pun saya tak melihat ketertarikan itu.

Sedikit teori-teori yang pernah kubaca mengajarkan, ketika orang berada di titik terlemahnya, ketika mereka membutuhkan bantuan, sebenarnya itulah waktu yang tepat untuk memberinya semangat. Jadi saya coba saja menerapkan teori itu.

El dan Tyo yang awalnya seperti tak suka mendengarkan cerita saya, akhirnya mengalah, dan memilih mendengar cerita saya. Di benakku, niatku hanya ingin memberikan mereka semangat. Itu saja.

Singkat cerita. Layaknya motivator dan psikolog, saya mulai membagikan kepadanya kisah-kisah teman saya yang luar biasa: dari tak punya apa-apa sampai memiliki perusahaan dan menjadi direktur. Saya juga membagikan nasehat-nasehat bijak kehidupan dan kalimat-kalimat ajaib. Seperti kalimat ajaib dari Viktor E. Frankl, psikiater asal Austria sekaligus korban Holocaust, yang pernah mengatakan begini "tanpa harapan, maka, masa depan, kematian akan segera datang".

Viktor E. Frankl, dalam bukunya "Man's Search for Meaning", mengatakan bahwa manusia-manusia yang kalah adalah manusia yang mengaku tidak memiliki masa depan dan harapan. Orang-orang seperti itu akan terus menerus berkisah agar orang lain membenarkan keadaannya. Dan, mereka akan terus menerus mengeluh.

Saya yang tadinya agak ragu dengan kalimat-kalimat ajaib itu sekarang sangat meyakini kebenarannya. Ini, setidaknya, karena saya pernah mengalami kesulitan.

Ya. Andai saja saya tak pernah menjalani hidup dengan rupa-rupa cobaan dan kesulitan, mungkin saja saya tak akan pernah tahu bahwa di belakang kesulitan itu memang benar ternyata tersimpan banyak kekuatan. Karena sulit saya menjadi lebih berani, dan lebih kuat.

Jadi, saya coba juga menceritakan kepadanya episod hidupku yang berwarna-warni itu. Saya ceritakan bahwa saya pernah berjualan kue, tidur lebih dari setahun di kantor untuk mengirit ongkos, dan pernah bekerja tanpa memeroleh gaji. Setelah memeroleh gaji, saya lalu nge-kos, tetapi untuk menghemat saya nge-kos di kamar pengap dan sempit. Berbulan-bulan lamanya, setiap hari, saya pernah bekerja hingga larut bahkan kerap diminta masuk pada hari Minggu, dan hanya memeroleh gaji 168.000 sebulan (tahun 1994).

Saya pernah menjadi pelaksana lapangan. Tetapi, sungguh, tak ada bahagia sedikitpun dalam pekerjaanku itu. Saya harus bangun subuh, berangkat kerja sebelum jam 6 pagi, agar tidak terlambat masuk kantor. Kadang saya mengutuki diri sendiri, mengapa saya tak pernah menolak diserahi tugas membawa kunci ruangan pimpinan? Tetapi, sependekseingatku, meski begitu, saya tak pernah mengeluh.  

Jika saya tak pernah mengalami kesulitan, mungkin saya tak akan seberani ketika saya dimintai menandatangani kontrak bekerja di negeri jauh dan meninggalkan Fitri, putriku yang cantik dan pintar.

Apakah teori-teori seperti yang saya baca itu akan berhasil, ketika saya menghadirkan kepada El dan Tyo cerita-cerita inspirasional yang membakari semangat?

Ahh, barangkali saja usahaku tidak berhasil. Sia-sia. Bukankah, apa yang ada dalam imajinasi mereka, hanya uang lah yang menjadi solusi dari segenap solusi? Bukan cerita-cerita yang me-motivasi? Tetapi, setidaknya, kepada mereka, saya sudah melakukan usaha itu, kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun