Beberapa waktu lalu, pada bulan ketika Covid-19 mulai merebak, seorang teman mengunggah foto virus Covid yang diperbesar beribu-ribu kali di grup aplikasi WhatsApp. Pada foto tersebut ia menyertakan doa-doa agar terhindar dari wabah virus.
Besokya ia ulangi lagi. Memposting doa lagi. Demikian seterusnya hingga berminggu-minggu.
Bisa ditebak, unggahan dan posting doa-doa tersebut dengan cepat mendapat respon "amin" dari penghuni grup aplikasi WhatsApp. Meski komentar yang bermunculan atas ungguhan doa itu, selain respon "amin", lebih bernada 'pesimis' dan 'negatif', ungguhan dan komentar orang-orang itu ternyata cukup menarik perhatian saya.
Hari-hari itu, ketakutan terhadap Covid-19 yang kerap dianggap 'berbahaya', memang hampir mendominasi topik percakapan (grup aplikasi WhatsApp). Covid-19 dianggap momok. Usai setiap anggota group memposting kabar-kabar menakutan karena Covid-19, orang-orang pun secepat kilat menuliskan balasan "amin" atau "Ya Allah, ya Rabb... tolong angkat azab-Mu, ya Allah!" lalu diikuti emotikon sedih dan menangis. Demikian seterusnya. Selama berminggu-minggu. Padahal, itu hal yang tak pernah saya lihat sebelum Covid-19 menjalar kemana-mana.
Karena Covid-19, kepada saya, melalui pesan pribadi aplikasi WhatsApp, beberapa teman juga pernah mengeluhkan tentang hidup mereka yang tak lagi seperti orang-orang normal. Saat bangun, pada subuh hari, menurut mereka, tiba-tiba saja perasaan sangat takut, was-was, deg-degan dan sangat gelisah datang menyergap begitu saja. Mereka seperti terus-menerus teringat rangkain kata-kata "berbahaya", "ribuan meninggal" dan "pasti akan mati" yang masuk ke mesin android dan lantas mereka baca malam kemarin. "Jantung saya berdegup kencang begitu saja. Saya takut, mas," kata mereka.
Ada pula teman saya yang tiba-tiba menjadi sangat religius. Pesuruh kantor tempat saya bekerja juga tiba-tiba menjadi 'rajin' mengerjakan ibadah sholat Dluhur. Padahal, sebelumnya, yang saya tahu, jarang sekali ia mengerjakan kewajiban sholat. Ini cukup mengejutkan. Aneh!
Pertanyaan naif yang kemudian terlontar: "Mengapa orang-orang mendadak menjadi relijius?"
"Apakah benar bahwa virus itu mempunyai hubungan dengan agama?"
Awalnya saya benar-benar tidak tahu gejala apa yang sedang terjadi itu, setidaknya, sampai akhirnya saya menemukan informasi dari Google Trend. Ini mungkin bisa sedikit menjelaskannya. Google Trends menjelaskan temuannya, bahwa pada saat pandemi memang ada fakta yang menunjukkan terjadinya peningkatan pencarian dengan kata kunci yang berhubungan dengan religiusitas. Di Indonesia, orang-orang beramai-rami mencari sesuatu menggunakan kata kunci "doa agar terhindar dari wabah virus", "doa berlindung dari virus corona", dan bahkan "shalat corona".
Di Amerika, Pew Research Center juga menyebutkan informasi yang setali tiga uang. Selama pandemi, menurut mereka, ada setidaknya 55 persen orang (dewasa) Amerika Serikat mengaku berdoa meminta Tuhan agar wabah segera berakhir. Mayoritas (86 persen) mengaku berdoa setiap hari. Sisanya, yang 14 persen, mengaku tidak berdoa. Lebih jauh lagi, seperempat orang Amerika Serikat juga mengatakan pandemi telah menguatkan iman mereka, dan hanya 2 persen mengatakan pandemi melemahkannya imannya.
Covid-19 yang terus menyebar cepat dan kian tak pasti (kapan akan berakhir) memang kadang-kadang membuat sebagian atau banyak orang terjerembab ke dalam ruang kegelisahan. Dan, agama (apapun) memang kemudian menjadi obatnya. Ia menyimpan ketentraman untuk manusia-manusia yang tersedot dalam kegelisahan, dan keseimbangan yang profan dan sakral.