Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Siapa Bilang Bekerja di Proyek Itu Tidak Enak?

1 Juli 2020   21:57 Diperbarui: 2 Juli 2020   12:48 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: magazine.job-like.com

Saat itu, awal reformasi, Indonesia begitu menakutkan. Inflasi rupiah dan meningkatnya harga sebagian besar barang dan bahan makanan menimbulkan kekacauan di mana-mana. Saya baru saja menikah dan masih bekerja di Gresik, Jawa Timur, setelah pindah dari proyek PLTU Paiton. 

Berbulan-bulan saya merasa tidak tenang. Berdebar dan gelisah. Membayangkan jika proyek tempat saya mengais rejeki mendadak diberhentikan sebab proyek besar itu memang dibiayai asing. Mertua macam mana yang tak cemas mendapati menantunya menganggur?

Dari Gresik, saya lalu berpindah-pindah tempat pekerjaan. Jakarta, Bojonegoro, Balikpapan, Pontianak, Medan, Pekanbaru, Perawang, Duri, Denpasar, Batam, Cilacap, dan masih banyak tempat-tempat lainnya.

Kota di luar negeri yang pertama kali saya datangi adalah Seoul. Itu terjadi pada akhir 1999. Saya menyaksikan, Seoul (Korea Selatan) tumbuh menjadi negara industri. Di mana-mana ada banyak pabrik. Mereka tidak mempunyai sumber daya alam sekaya Indonesia, tetapi mereka sangat maju. 

Penduduknya sangat disiplin dan gila bekerja. Pagi pukul 07.00, mereka tergesa-gesa berjalan menuju kantor dan pabrik. Di negeri ini pula saya mengenal ahjumma dan ahjussi (bibi atau paman). Meski usia mereka sudah senja, tetapi kulihat mereka tetap tekun bekerja. Di ladang dan dimana-mana. 

Mereka sangat giat dan seperti tak kenal letih. Korea Selatan yang pernah tercabik-cabik perang saudara, bangkit menjadi kota modern dan maju. Saya kerap membayangkan mungkin Indonesia juga bisa seperti itu andai saja penduduk Indonesia bisa sedisiplin mereka...

Singapura juga menawan. Negeri sekaligus kota ini tumbuh menjadi surga bagi mereka yang gemar berbelanja. Kecil, tapi luar biasa. Begitu juga dengan Malaysia dengan kota wisatanya di Melaka dan Thailand, yang diminati banyak orang Indonesia itu. Saya juga pernah menyaksikan Eropa! Benua yang dulu nyaris hanya ada dalam mimpi-mimpi saya.

Tak pudar kenanganku, dulu, ketika saya masih kecil, sewaktu hidup keluarga saya masih susah hingga pernah beberapa hari kami hanya makan karak dengan parutan kelapa (karak: sisa nasi yang dikeringkan lalu dimasak kembali). Ibuku menangis. Ayah pun hanya diam tak bersuara. Tetapi, yaps, siapa sangka akhirnya saya pun bisa menginjakkan kaki di Eropa.

Karena saya bekerja di proyek-proyek besar, saya berteman dengan banyak karyawan dari banyak negara dan ragam kebudayaan. Orang-orang Eropa dan Amerika, sebagaimana dicirikan sebagai orang terpelajar, langkahnya lebih pelan dari orang Jepang dan pandai melakukan negosiasi.

Orang-orang Philipina sangat menyenangkan. Mereka dan orang-orang dari India saya lihat banyak sekali yang bekerja di proyek-proyek internasional dibandingkan orang Indonesia. Yaps, kukira ini karena kemampuan mereka dalam berkomunikasi (faktor bahasa) yang lebih baik dari orang Indonesia.

Pekerja Indonesia, menurut pendapatku, (sebenarnya) adalah pekerja-pekerja yang bagus. Mereka disukai, tidak ngeyel, jarang menuntut, tetapi, saya harus mengatakan jujur (secara umum) mereka memang kalah cakap dalam berkomunikasi dibandingkan Philipina dan India.

Dari banyak negara, perempuan-perempuan dari Eropa Timur kulihat paling cantik dibandingkan dengan lainnya. Tampak elegan dan terpelajar. Saya sering terpana menatap mereka. Ups!

Saya berteman dan bersahabat dengan banyak ragam orang. Dari berbagai kalangan dan latar belakang. Dari hanya lulusan SD, sampai lulusan S3. Dari mereka saya mendengarkan banyak kisah-kisah kehidupan yang luar biasa. 

Dari pekerja kasar, menjadi pengawas, lalu memiliki beberapa perusahaan. Dari engineer, lalu menjadi pengusaha nasional hingga mendunia. Dari tidak punya apa-apa, lalu menjadi pengusaha terkemuka, gulung tikar, rumah dan hotelnya disita, lalu dipenjara. Begitulah kehidupan.

Di Sumatra dan Kalimantan saya menyaksikan wajah lara dunia pendidikan Indonesia. Bocah-bocah kecil yang menenteng tas sekolah, di siang yang kering, melewati hamparan kebun sawit yang luasnya tak terkira, mereka berjalan kaki berangkat dan pulang dari sekolahnya usai memunguti ilmu. 

Di pedalaman dan di pelosok-pelosok desa, saya kerap mendatangi sekolah-sekolah untuk berbagi buku atau tas. Dinding sekolah yang saya datangi itu masih terbuat dari papan kayu dengan cat kusam dan lantai dari semen serta berjendela kawat besi. Hati saya pilu menyaksikan pemandangan itu.

Saya juga menyimpani banyak kisah suka cita dan kegembiraan hingga kisah-kisah klenik yang tragis..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun